Translate

Selamat Membaca..bila blog ini bermanfaat bagi anda klik g+1 (yang punya akun google plus)

Senin, 17 September 2012

ASKEP KLIEN DENGAN THYPUS ABDOMINALIS

A. PENGERTIAN Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella thypi dan salmonella para thypi A,B,C. sinonim dari penyakit ini adalah Typhoid dan paratyphoid abdominalis, ( Syaifullah Noer, 1998 ). Typus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran cerna, gangguan kesadaran, dan lebih banyak menyerang pada anak usia 12 – 13 tahun ( 70% - 80% ), pada usia 30 - 40 tahun ( 10%-20% ) dan diatas usia pada anak 12-13 tahun sebanyak ( 5%-10% ). (Mansjoer, Arif 1999). Typus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 1 minggu, gangguan pencernaan dan gangguan kesadaran (FKUI. 1999). B. EIOLOGI a) Salmonella thyposa, basil gram negative yang bergerak dengan bulu getar, tidak bersepora mempunyai sekurang-kurangnya tiga macam antigen yaitu: • antigen O (somatic, terdiri darizat komplekliopolisakarida) • antigen H(flagella) • antigen V1 dan protein membrane hialin. b) Salmonella parathypi A c) salmonella parathypi B d) Salmonella parathypi C e) Faces dan Urin dari penderita thypus (Rahmad Juwono, 1996). C. PATOFISIOLOGIS Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5 F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses. Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap dimakanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke dalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung empedu. Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid disebabkan oleh endotoksemia. Tetapi berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam pada typhoid. Endotoksemia berperan pada patogenesis typhoid, karena membantu proses inflamasi lokal pada usus halus. Demam disebabkan karena salmonella thypi dan endotoksinnya merangsang sintetis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang. D. GEJALA KLINIS Masa tunas 7-14 (rata-rata 3 – 30) hari, selama inkubasi ditemukan gejala prodromal (gejala awal tumbuhnya penyakit/gejala yang tidak khas) : • Perasaan tidak enak badan • Lesu • Nyeri kepala • Pusing • Diare • Anoreksia • Batuk • Nyeri otot (Mansjoer, Arif 1999). Menyusul gejala klinis yang lain 1. DEMAM Demam berlangsung 3 minggu • Minggu I : Demam remiten, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore dan malam hari • Minggu II : Demam terus • Minggu III : Demam mulai turun secara berangsur - angsur 2. GANGGUAN PADA SALURAN PENCERNAAN • Lidah kotor yaitu ditutupi selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi kemerahan, jarang disertai tremor • Hati dan limpa membesar yang nyeri pada perabaan • Terdapat konstipasi, diare 3. GANGGUAN KESADARAN • Kesadaran yaitu apatis – somnolen • Gejala lain “ROSEOLA” (bintik-bintik kemerahan karena emboli hasil dalam kapiler kulit) (Rahmad Juwono, 1996). E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK Pemeriksaan laboratorium • Pemeriksaan darah tepi : dapat ditemukan leukopenia,limfositosis relatif, aneosinofilia, trombositopenia, anemia • Biakan empedu : basil salmonella typhii ditemukan dalam darah penderita biasanya dalam minggu pertama sakit • Pemeriksaan WIDAL - Bila terjadi aglutinasi - Diperlukan titer anti bodi terhadap antigeno yang bernilai  1/200 atau peningkatan  4 kali antara masa akut dan konvalesene mengarah kepada demam typhoid (Rahmad Juwono, 1996). F. PENATALAKSANAAN Terdiri dari 3 bagian, yaitu : 1) Perawatan • Tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. • Posisi tubuh harus diubah setiap  2 jam untuk mencegah dekubitus. • Mobilisasi sesuai kondisi. 2) Diet • Makanan diberikan secara bertahap sesuai dengan keadaan penyakitnya (mula-mula air-lunak-makanan biasa) • Makanan mengandung cukup cairan, TKTP. • Makanan harus menagndung cukup cairan, kalori, dan tinggi protein, tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang maupun menimbulkan banyak gas. 3) Obat • Antimikroba  Kloramfenikol  Tiamfenikol  Co-trimoksazol (Kombinasi Trimetoprim dan Sulkametoksazol) • Obat Symptomatik  Antipiretik  Kartikosteroid, diberikan pada pasien yang toksik.  Supportif : vitamin-vitamin.  Penenang : diberikan pada pasien dengan gejala neuroprikiatri (Rahmad Juwono, 1996). G. KOMPLIKASI Komplikasi dapat dibagi dalam : 1. Komplikasi intestinal  Perdarahan usus  Perforasi usus  Ileus paralitik 2. Komplikasi ekstra intestinal.  Kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (renjatan sepsis) miokarditis, trombosis, dan tromboflebitie.  Darah : anemia hemolitik, tromboritopenia, sindrom uremia hemolitik  Paru : pneumoni, empiema, pleuritis.  Hepar dan kandung empedu : hipertitis dan kolesistitis.  Ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.  Tulang : oeteomielitis, periostitis, epondilitis, dan arthritis.  Neuropsikiatrik : delirium, meningiemus, meningitie, polineuritie, perifer, sindrom Guillan-Barre, psikosis dan sindrom katatonia.  Pada anak-anak dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi. Komplikasi sering terjadi pada keadaan tokremia berat dan kelemahan umum, terutama bila perawatan pasien kurang sempurna (Rahmad Juwono, 1996). H. PENCEGAHAN 1. Usaha terhadap lingkungan hidup : a. Penyediaan air minum yang memenuhi b. Pembuangan kotoran manusia (BAK dan BAB) yang hygiene c. Pemberantasan lalat. d. Pengawasan terhadap rumah-rumah dan penjual makanan. 2. Usaha terhadap manusia. a. Imunisasi b. Pendidikan kesehatan pada masyarakat : hygiene sanitasi personal hygiene. (Mansjoer, Arif 1999). MANAJEMEN KEPERAWATAN A. Pengkajian 1. Identitas Didalam identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan, no. Registerasi, status perkawinan, agama, pekerjaan, tinggi badan, berat badan, tanggal MR. 2. Keluhan Utama pada pasien Thypoid biasanya mengeluh perut merasa mual dan kembung, nafsu makan menurun, panas dan demam. 1. Riwayat Penyakit Dahulu Apakah sebelumnya pasien pernah mengalami sakit Thypoid, apakah tidak pernah, apakah menderita penyakit lainnya. 2. Riwayat Penyakit Sekarang Pada umumnya penyakit pada pasien Thypoid adalah demam, anorexia, mual, muntah, diare, perasaan tidak enak di perut, pucat (anemi), nyeri kepala pusing, nyeri otot, lidah tifoid (kotor), gangguan kesadaran berupa somnolen sampai koma. 3. Riwayat Kesehatan Keluarga Apakah dalam kesehatan keluarga ada yang pernah menderita Thypoid atau sakit yang lainnya. 4. Riwayat Psikososial Psiko sosial sangat berpengaruh sekali terhadap psikologis pasien, dengan timbul gejala-gejala yang dalami, apakah pasien dapat menerima pada apa yang dideritanya. 5. Pola-Pola Fungsi Kesehatan 1) Pola pesepsi dan tatalaksana kesehatan Perubahan penatalaksanaan kesehatan yang dapat menimbulkan masalah dalam kesehatannya. 2) Pola nutrisi dan metabolisme Adanya mual dan muntah, penurunan nafsu makan selama sakit, lidah kotor, dan rasa pahit waktu makan sehingga dapat mempengaruhi status nutrisi berubah. 3) Pola aktifitas dan latihan Pasien akan terganggu aktifitasnya akibat adanya kelemahan fisik serta pasien akan mengalami keterbatasan gerak akibat penyakitnya. 4) Pola tidur dan aktifitas Kebiasaan tidur pasien akan terganggu dikarenakan suhu badan yang meningkat, sehingga pasien merasa gelisah pada waktu tidur. 5) Pola eliminasi Kebiasaan dalam buang BAK akan terjadi refensi bila dehidrasi karena panas yang meninggi, konsumsi cairan yang tidak sesuai dengan kebutuhan. 6) Pola reproduksi dan sexual Pada pola reproduksi dan sexual pada pasien yang telah atau sudah menikah akan terjadi perubahan. 7) Pola persepsi dan pengetahuan Perubahan kondisi kesehatan dan gaya hidup akan mempengaruhi pengetahuan dan kemampuan dalam merawat diri. 8) Pola persepsi dan konsep diri Didalam perubahan apabila pasien tidak efektif dalam mengatasi masalah penyakitnya. 9) Pola penanggulangan stress Stres timbul apabila seorang pasien tidak efektif dalam mengatasi masalah penyakitnya. 10) Pola hubungan interpersonil Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap hubungan interpersonal dan peran serta mengalami tambahan dalam menjalankan perannya selama sakit. 11) Pola tata nilai dan kepercayaan Timbulnya distres dalam spiritual pada pasien, maka pasien akan menjadi cemas dan takut akan kematian, serta kebiasaan ibadahnya akan terganggu. 6. Pemeriksaan Fisik 1) Keadaan umum Biasanya pada pasien typhoid mengalami badan lemah, panas, puccat, mual, perut tidak enak, anorexia. 2) Kepala dan leher Kepala tidak ada bernjolan, rambut normal, kelopak mata normal, konjungtiva anemia, mata cowong, muka tidak odema, pucat/bibir kering, lidah kotor, ditepi dan ditengah merah, fungsi pendengran normal leher simetris, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid. 3) Dada dan abdomen Dada normal, bentuk simetris, pola nafas teratur, didaerah abdomen ditemukan nyeri tekan. 4) Sistem respirasi Apa ada pernafasan normal, tidak ada suara tambahan, dan tidak terdapat cuping hidung. 5) Sistem kardiovaskuler Biasanya pada pasien dengan typoid yang ditemukan tekanan darah yang meningkat akan tetapi bisa didapatkan tachiardi saat pasien mengalami peningkatan suhu tubuh. 6) Sistem integumen Kulit bersih, turgor kulit menurun, pucat, berkeringat banyak, akral hangat. 7) Sistem eliminasi Pada pasien typoid kadang-kadang diare atau konstipasi, produk kemih pasien bisa mengalami penurunan (kurang dari normal). N ½ -1 cc/kg BB/jam. 8) Sistem muskuloskolesal Apakah ada gangguan pada extrimitas atas dan bawah atau tidak ada gangguan. 9) Sistem endokrin Apakah di dalam penderita thyphoid ada pembesaran kelenjar toroid dan tonsil. 10) Sistem persyarafan Apakah kesadarn itu penuh atau apatis, somnolen dan koma, dalam penderita penyakit thypoid. B. Diagnosa keperawatan 1. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan infeksi Salmonella Typhii 2. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia 3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan/bedrest. 4. Gangguan keseimbangan cairan (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan pengeluaran cairan yang berlebihan (diare/muntah). C. Intervensi dan Implementasi 1. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan infeksi salmonella typhsi Tujuan : suhu tubuh normal/terkontrol. Kriteria hasil : Pasien melaporkan peningkatan suhu tubuh Mencari pertolongan untuk pencegahan peningkatan suhu tubuh. Turgor kulit membaik Intervensi :  Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga tentang peningkatan suhu tubuh R/ agar klien dan keluarga mengetahui sebab dari peningkatan suhu dan membantu mengurangi kecemasan yang timbul.  Anjurkan klien menggunakan pakaian tipis dan menyerap keringat R/ untuk menjaga agar klien merasa nyaman, pakaian tipis akan membantu mengurangi penguapan tubuh.  Batasi pengunjung R/ agar klien merasa tenang dan udara di dalam ruangan tidak terasa panas.  Observasi TTV tiap 4 jam sekali R/ tanda-tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien  Anjurkan pasien untuk banyak minum, minum  2,5 liter / 24 jam R/ peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan tubuh meningkat sehingga perlu diimbangi dengan asupan cairan yang banyak  Memberikan kompres dingin R/ untuk membantu menurunkan suhu tubuh  Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian tx antibiotik dan antipiretik R/ antibiotik untuk mengurangi infeksi dan antipiretik untuk menurangi panas. 2. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia Tujuan : Pasien mampu mempertahankan kebutuhan nutrisi adekuat Kriteria hasil : - Nafsu makan meningkat - Pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang diberikan Intervensi  Jelaskan pada klien dan keluarga tentang manfaat makanan/nutrisi. R/ untuk meningkatkan pengetahuan klien tentang nutrisi sehingga motivasi untuk makan meningkat.  Timbang berat badan klien setiap 2 hari. R/ untuk mengetahui peningkatan dan penurunan berat badan.  Beri nutrisi dengan diet lembek, tidak mengandung banyak serat, tidak merangsang, maupun menimbulkan banyak gas dan dihidangkan saat masih hangat. R/ untuk meningkatkan asupan makanan karena mudah ditelan.  Beri makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering. R/ untuk menghindari mual dan muntah.  Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian antasida dan nutrisi parenteral. R/ antasida mengurangi rasa mual dan muntah. Nutrisi parenteral dibutuhkan terutama jika kebutuhan nutrisi per oral sangat kurang. 3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan/bed rest Tujuan : pasien bisa melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) optimal. Kriteria hasil : Kebutuhan personal terpenuhi Dapat melakukan gerakkan yang bermanfaat bagi tubuh. memenuhi AKS dengan teknik penghematan energi. Intervensi :  Beri motivasi pada pasien dan kelurga untuk melakukan mobilisasi sebatas kemampuan (missal. Miring kanan, miring kiri). R/ agar pasien dan keluarga mengetahui pentingnya mobilisasi bagi pasien yang bedrest.  Kaji kemampuan pasien dalam beraktivitas (makan, minum). R/ untuk mengetahui sejauh mana kelemahan yang terjadi.  Dekatkan keperluan pasien dalam jangkauannya. R/ untuk mempermudah pasien dalam melakukan aktivitas.  Berikan latihan mobilisasi secara bertahap sesudah demam hilang. R/ untuk menghindari kekakuan sendi dan mencegah adanya dekubitus. 4. Gangguan keseimbangan cairan (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan cairan yang berlebihan (diare/muntah) Tujuan : tidak terjadi gangguan keseimbangan cairan Kriteria hasil : Turgor kulit meningkat Wajah tidak nampak pucat Intervensi :  Berikan penjelasan tentang pentingnya kebutuhan cairan pada pasien dan keluarga. R/ untuk mempermudah pemberian cairan (minum) pada pasien.  Observasi pemasukan dan pengeluaran cairan. R/ untuk mengetahui keseimbangan cairan.  Anjurkan pasien untuk banyak minum  2,5 liter / 24 jam. R/ untuk pemenuhan kebutuhan cairan.  Observasi kelancaran tetesan infuse. R/ untuk pemenuhan kebutuhan cairan dan mencegah adanya odem.  Kolaborasi dengan dokter untuk terapi cairan (oral / parenteral). R/ untuk pemenuhan kebutuhan cairan yang tidak terpenuhi (secara parenteral). D. Evaluasi Dari hasil intervensi yang telah tertulis, evaluasi yang diharapkan :  Dx : peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan infeksi salmonella typhii Evaluasi : suhu tubuh normal (36 o C) atau terkontrol.  Dx : gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia. Evaluasi : Pasien mampu mempertahankan kebutuhan nutrisi adekuat.  Dx : intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan/bedrest Evaluasi : pasien bisa melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) optimal.  Dx : gangguan keseimbangan cairan (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan pengeluaran cairan yang berlebihan (diare/muntah) Evaluasi : kebutuhan cairan terpenuhi DAFTAR PUSTAKA Dangoes Marilyn E. 1993. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. EGC, Jakarta. Lynda Juall, 2000, Diagnosa Keperawatan, EGC, Jakarta. Mansjoer, Arif 1999, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Media Aesculapis, Jakarta. Rahmad Juwono, 1996, Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3, FKUI, Jakarta. Sjaifoellah Noer, 1998, Standar Perawatan Pasien, Monica Ester, Jakarta.
Read More : ASKEP KLIEN DENGAN THYPUS ABDOMINALIS

SENAM KAKI DIABETES

PENGERTIAN SENAM KAKI Senam kaki adalah kegiatan atau latihan yang dilakukan oleh pasien diabetes melitus untuk mencegah terjadinya luka dan membantu melancarkan peredaran darah bagian kaki. (S,Sumosardjuno,1986)Senam kaki dapat membantu memperbaiki sirkulasi darah dan memperkuat otot-otot kecil kaki dan mencegah terjadinya kelainan bentuk kaki. Selain itu dapat meningkatkan kekuatan otot betis, otot paha, dan juga mengatasi keterbatasan pergerakan sendi. (www.diabetesmelitus.com). TUJUAN DILAKUKAN SENAM a. Memperbaiki sirkulasi darah b. Memperkuat otot-otot kecil c. Mencegah terjadinya kelainan bentuk kaki d. Meningkatkan kekuatan otot betis dan paha e. Mengatasi keterbatasan gerak sendi INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI a. Indikasi Senam kaki ini dapat diberikan kepada seluruh penderita Diabetes mellitus dengan tipe 1 maupun 2. Namun sebaiknya diberikan sejak pasien didiagnosa menderita Diabetes Mellitus sebagai tindakan pencegahan dini. b. Kontraindikasi 1) Klien mengalami perubahan fungsi fisiologis seperti dipsnu atau nyeri dada. 2) Orang yang depresi, khawatir atau cemas. HAL YANG HARUS DIKAJI SEBELUM TINDAKAN a. Lihat Keadaan umum dan keadaran pasien b. Cek tanda-tanda Vital sebelum melakukan tindakan c. Cek Status Respiratori (adakan Dispnea atau nyeri dada) d. Perhatikan indikasi dan kontraindiikasi dalam pemberian tindakan senam kaki tersebut e. Kaji status emosi pasien (suasanan hati/mood, motivasi). DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG BERKAITAN DENGAN TINDAKAN a. Resiko intoleran aktivitas b.d tirah baring, kelemahan b. Resiko kerusakan integritas kulit b.d perubahan sirkulasi darah, hambatan mobilitas fisik. IMPLEMENTASI a. Persiapan Alat : Kertas Koran 2 lembar, Kursi (jika tindakan dilakukan dalam posisi duduk), hanskun. b. Persiapan Klien : Kontrak Topik, waktu, tempat dan tujuan dilaksanakan senam kaki c. Persiapan lingkungan : Ciptakan lingkungan yang nyaman bagi pasien, Jaga privacy pasien d. Prosedur Pelaksanaan : 1) Perawat cuci tangan 2) Jika dilakukan dalam posisi duduk maka posisikan pasien duduk tegak diatas bangku dengan kaki menyentuh lantai 3) Dengan meletakkan tumit dilantai, jari-jari kedua belah kaki diluruskan keatas lalu dibengkokkan kembali kebawah seperti cakar ayam sebanyak 10 kali 4) Dengan meletakkan tumit salah satu kaki dilantai, angkat telapak kaki ke atas. Pada kaki lainnya, jari-jari kaki diletakkan di lantai dengan tumit kaki diangkatkan ke atas. Cara ini dilakukan bersamaan pada kaki kiri dan kanan secara bergantian dan diulangi sebanyak 10 kali. 5) Tumit kaki diletakkan di lantai. Bagian ujung kaki diangkat ke atas dan buat gerakan memutar dengan pergerakkan pada pergelangan kaki sebanyak 10 kali. 6) Jari-jari kaki diletakkan dilantai. Tumit diangkat dan buat gerakan memutar dengan pergerakkan pada pergelangan kaki sebanyak 10 kali. 7) Angkat salah satu lutut kaki, dan luruskan. Gerakan jari-jari kedepan turunkan kembali secara bergantian kekiri dan ke kanan. Ulangi sebanyak 10 kali. 8) Luruskan salah satu kaki diatas lantai kemudian angkat kaki tersebut dan gerakkan ujung jari kaki kearah wajah lalu turunkan kembali kelantai. 9) Angkat kedua kaki lalu luruskan. Ulangi langkah ke 8, namun gunakan kedua kaki secara bersamaan. Ulangi sebanyak 10 kali. 10) Angkat kedua kaki dan luruskan,pertahankan posisi tersebut. Gerakan pergelangan kaki kedepan dan kebelakang. 11) Luruskan salah satu kaki dan angkat, putar kaki pada pergelangan kaki , tuliskan pada udara dengan kaki dari angka 0 hingga 10 lakukan secara bergantian. 12) Letakkan sehelai koran dilantai. Bentuk kertas itu menjadi seperti bola dengan kedua belah kaki. Kemudian, buka bola itu menjadi lembaran seperti semula menggunakan kedua belah kaki. Cara ini dilakukan hanya sekali saja. a. Lalu robek koran menjadi 2 bagian, pisahkan kedua bagian koran. b. Sebagian koran di sobek-sobek menjadi kecil-kecil dengan kedua kaki c. Pindahkan kumpulan sobekan-sobekan tersebut dengan kedua kaki lalu letakkan sobekkan kertas pada bagian kertas yang utuh. d. Bungkus semuanya dengan kedua kaki menjadi bentuk bola 7. Hal yang Harus di Evaluasi Setelah Tindakan a. Pasien dapat menyebutkan kembali pengertian senam kaki b. Pasien dapat menyebutkan kembali 2 dari 4 tujuan senam kaki c. Pasien dapat memperagakkan sendiri teknik-teknik senam kaki secara mandiri 8. Dokumentasi Tindakan a. Respon klien b. Tindakan yang dilakukan klien sesuai atau tidak dengan prosedur c. Kemampuan klien melakukan senam kaki
Read More : SENAM KAKI DIABETES

Sabtu, 30 Juni 2012

ASKEP SIROSIS HEPATIS

1.1 Definisi Sirosis Hepatis Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2001). Sirosis Hepatis adalah penyakit hati kronis yang tidak diketahui penyebabnya dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium terakhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati (Sujono H, 2002). Sirosis Hepatis adalah penyakit yang ditandai oleh adanya peradangan difus dan menahun pada hati, di ikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi dan regenerasi sel-sel hati, sehingga timbul kekacauan dalam susunan parenkim hati (Mansjoer Arief, 1999). Sirosis Hepatis adalah suatu penyakit hati dimana sirkulasi mikro, anatomi pembuluh darah besar dan seluruh sistem arsitektur hati mengalami perubahan, menjadi tidak teratur dan terjadinya pertambahan jaringan (fibrosis) di sekitar parenkim hati yang mengalami regenerasi (Soeparman, 1987) Ada 3 tipe sirosis hepatis : 1. Sirosis portal laennec (alkoholik nutrisional), dimana jaringan parut secara khas mengelilingi daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholis kronis. 2. Sirosis pasca nekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai akibat lanjut dari hepatitis virus yang terjadi sebelumnya. 3. Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati di sekitar saluran empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi (kolangitis). 1.2 Etiologi Penyebab sirosis hati biasanya tidak dapat diketahui hanya berdasarkan pada klasifikasi morfologis hati yang mengalami sirosis. Dua penyebab yang sampai saat sekarang masih dianggap paling sering menyebabkan sirosis ialah hepatitis virus dan alkoholisme. Penyebab lain sirosis hati akan disebutkan secara singkat pada bab klasifikasi Sirosis dapat disebabkan oleh banyak keadaan, termasuk radang kronis berkepanjangan, racun, infeksi, dan penyakit jantung. Di Negara barat sendiri penyebab sirosis hepatic yang paling sering dijumpai: a. Alkoholik 60-70% b. Hepatitis virus 10% c. Penyakit billier 5-10% d. Hemokromatis Primer 5% e. Sirosis Kriptogenik 10-15% 1.3 Manifestasi klinis HepatomegaliPengerutan Hepar Pada awal perjalanan sirosis, hati cenderung membesar dan sel-selnya dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan regangan pada selubung fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba benjol-benjol(noduler). Obstruksi Portal dan Asites. Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati yang kronis dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah dari organ-organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena portal dan dibawa ke hati. Karena hati yang sirotik tidak memungkinkan pelintasan darah yang bebas, maka aliran darah tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus gastrointestinal dengan konsekuensi bahwa organ-organ ini menjadi tempat kongesti pasif yang kronis; dengan kata lain, kedua organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan demikian tidak dapat bekerja dengan baik. Pasien dengan keadaan semacam ini cenderung menderita dispepsia kronis atau diare. Berat badan pasien secara berangsur-angsur mengalami penurunan. Cairan yang kaya protein dan menumpuk di rongga peritoneal akan menyebabkan asites. Hal ini ditunjukkan melalui perfusi akan adanya shifting dullness atau gelombang cairan. Varises Gastrointestinal. Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrofik juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral sistem gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pernbuluh portal ke dalam pernbuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, penderita sirosis sering memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang mencolok serta terlihat pada inspeksi abdomen (kaput medusae), dan distensi pembuluh darah di seluruh traktus gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum bagian bawah merupakan daerah yang sering mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral. Distensi pembuluh darah ini akan membentuk varises. Karena fungsinya bukan untuk menanggung volume darah dan tekanan yang tinggi akibat sirosis, maka pembuluh darah ini dapat mengalami ruptur dan menimbulkan perdarahan. Karena itu, pengkajian harus mencakup observasi untuk mengetahui perdarahan yang nyata dan tersembunyi dari traktus gastrointestinal. Kurang lebih 25% pasien akan mengalami hematemesis ringan; sisanya akan mengalami hemoragi masif dari ruptur varises pada lambung dan esofagus. Edema. Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi untuk terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi natrium serta air dan ekskresi kalium. 1.4 Patofisiologi Sirosis Hepatis • Hepatitis Virus Hepatitis virus sering juga disebut sebagai salah satu penyebab dari Sirosis Hepatis. Dan secara klinik telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan memberi gejala sisa serta menunjukkan perjalanan yang kronis bila dibandingkan dengan hepatitis virus A. penderita dengan hepatitis aktif kronik banyak yang menjadi sirosis karena banyak terjadi kerusakan hati yang kronis. Mekanismenya terjadinya proses yang berlangsung terus, mulai dari hepatitis virus menjadi sirosi hati belum jelas. Ada 2 kemungkinan patogenesis, yaitu : (1) Mekanis Teori mekanis menerangkan proses kelanjutan hepatitis virus menjadi sirosis hati dengan mengemukakan bahwa pada daerah dimana terjadi nekrosis confluent, maka kerangka retikulum lobul yang mengalami collaps akan berlaku sebagai kerangka untuk terjadinya daerah parut yang luas. (2) Imunologis atau Walaupun hepatitis akut dengan nekrosis confluent dapat berkembang menjadi sirosis hati, namun nampaknya proses tersebut harus melalui tingkat hepatitis kronik (agresif terlebih dahulu). Kelompok hepatitis kronik dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kronik persisten dan kronik aktif. Kelompok yaitu kronik persisten pada umumnya akan membaik. Sebaliknya sebagian penderita hepatitis kronik agresif, akan berkembang menjadi fibrosis dan kemudian sirosis (3) Kombinasi keduanya. • Alkoholisme Beberapa obat-obatan dan zat kimia dapat menyebabkan terjadinya kerusakan fungsi sel hati secara akut dan kronik. Kerusakan hati secara akut akan berakibat nekrosis atau degenerasi lemak. Sedangkan kerusakan kronik akan berupa Sirosis Hepatis. Pemberian bermacam obat-obatan hepatotoksik secara berulang kali dan terus menerus. Mula-mula akan terjadi kerusakan setempat, kemudian terjadi kerusakan hati yang merata, dan akhirnya dapat terjadi Sirosis Hepatis. Zat hepatotoksik yang sering disebut-sebut adalah alcohol. Efek yang nyata dari etil-alkohol adalah penimbunan lemak dalam hati (Sujono Hadi). Sirosis alkohol juga, disebut “Sirosis Laennec“, terjadi setelah penyalahgunaan alkohol bertahun-tahun. Produk akhir pencernaan yang dihasilkan dihati pada seorang pecandu alkohol, bersifat toksik terhadap hepatosit. Nutrisi yang buruk, yang sering dijumpai pada pecandu alkohol, juga berperan menyebabkan kerusakan hati, mungkin dengan merangsang hati secara berlebihan untuk melakukan Glokuneogenesis atau metabolisme protein. • Hemokromatis Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada 2 kemungkinan timbulnya hemokromatosis, yaitu : a. sejak dilahirkan, penderita mengalami kenaikan absorpsi dari Fe. b. kemungkinan didapat setelah lahir (aquisita), misalnya dijumpai pada penderita dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya absorpsi dari Fe, kemungkinan menyebabkan timbulnya Sirosis Hepatis. • Penyakit billier sebagai akibat obstruksi yang lama pada saluran empedu akan dapat menimbulkan sirosis biliaris primer. Penyakit ini lebih banyak dijumpai pada kaum wanita. • Sirosis Kriptogenik penyebab Sirosis Hepatis yang tidak diketahui dan digolongkan dalam sirosis kriptogenik. Penyakit ini banyak ditemukan di Inggris (menurut Reer 40%, Sherlock melaporkan 49%). Penderita ini sebelumnya tidak menunjukkan tanda-tanda hepatitis atau alkoholisme, sedangkan dalam makanannya cukup mengandung protein. 1.5 Komplikasinya Komplikasi yang sering timbul pada penderita Sirosis Hepatis diantaranya adalah: 1. Perdarahan Gastrointestinal Setiap penderita Sirosis Hepatis dekompensata terjadi hipertensi portal, dan timbul varises esophagus. Varises esophagus yang terjadi pada suatu waktu mudah pecah, sehingga timbul perdarahan yang massif. Sifat perdarahan yang ditimbulkan adalah muntah darah atau hematemesis biasanya mendadak dan massif tanpa didahului rasa nyeri di epigastrium. Darah yang keluar berwarna kehitam-hitaman dan tidak akan membeku, karena sudah tercampur dengan asam lambung. Setelah hematemesis selalu disusul dengan melena (Sujono Hadi). Mungkin juga perdarahan pada penderita Sirosis Hepatis tidak hanya disebabkan oleh pecahnya varises esophagus saja. FAINER dan HALSTED pada tahun 1965 melaporkan dari 76 penderita Sirosis Hepatis dengan perdarahan ditemukan 62% disebabkan oleh pecahnya varises esofagii, 18% karena ulkus peptikum dan 5% karena erosi lambung. 2. Koma hepatikum Komplikasi yang terbanyak dari penderita Sirosis Hepatis adalah koma hepatikum. Timbulnya koma hepatikum dapat sebagai akibat dari faal hati sendiri yang sudah sangat rusak, sehingga hati tidak dapat melakukan fungsinya sama sekali. Ini disebut sebagai koma hepatikum primer. Dapat pula koma hepatikum timbul sebagai akibat perdarahan, parasentese, gangguan elektrolit, obat-obatan dan lain-lain, dan disebut koma hepatikum sekunder. Pada penyakit hati yang kronis timbullah gangguan metabolisme protein, dan berkurangnya pembentukan asam glukoronat dan sulfat. Demikian pula proses detoksifikasi berkurang. Pada keadaan normal, amoniak akan diserap ke dalam sirkulasi portal masuk ke dalam hati, kemudian oleh sel hati diubah menjadi urea. Pada penderita dengan kerusakan sel hati yang berat, banyak amoniak yang bebas beredar dalam darah. Oleh karena sel hati tidak dapat mengubah amoniak menjadi urea lagi, akhirnya amoniak menuju ke otak dan bersifat toksik/iritatif pada otak. 3. Ulkus peptikum Menurut TUMEN timbulnya ulkus peptikum pada penderita Sirosis Hepatis lebih besar bila dibandingkan dengan penderita normal. Beberapa kemungkinan disebutkan diantaranya ialah timbulnya hiperemi pada mukosa gaster dan duodenum, resistensi yang menurun pada mukosa, dan kemungkinan lain ialah timbulnya defisiensi makanan. 4. Karsinoma hepatoselular SHERLOCK (1968) melaporkan dari 1073 penderita karsinoma hati menemukan 61,3 % penderita disertai dengan Sirosis Hepatis. Kemungkinan timbulnya karsinoma pada Sirosis Hepatis terutama pada bentuk postnekrotik ialah karena adanya hiperplasi noduler yang akan berubah menjadi adenomata multiple kemudian berubah menjadi karsinoma yang multiple. 5. Infeksi Setiap penurunan kondisi badan akan mudah kena infeksi, termasuk juga penderita sirosis, kondisi badannya menurun. Menurut SCHIFF, SPELLBERG infeksi yang sering timbul pada penderita sirosis, diantaranya adalah : peritonitis, bronchopneumonia, pneumonia, tbc paru-paru, glomeluronefritis kronik, pielonefritis, sistitis, perikarditis, endokarditis, erysipelas maupun septikemi. 1.6 Asuhan Keperawatan untuk Pasien Sirosis Hepatis • Pengkajian  Ikterus  Hepatomegali (tahap awal)  Nyri tekan pada pemeriksaan hati  Acites  Permukaan hati teraba benjol-benjol (palpasi)  Edema ekstremitas  Diare  Hematemesis  Melena  Anorexia  BB turun  Lemah  Pemeriksaan penunjang  Protrombin time memanjang  Kadar albumin rendah  Peningkatan gamma globulin G.  Urobillin feces meningkat (n = 90 – 280 mg/hari).  Urobillin urine meninglkat (n = 0,1 – 1,0 erlich u/dl).  Kadar bilirubin direk dan indirek meningkat.  (Direk n = 0,1 – 0,3 mg/dl. Indirek n = 0,2 – 0,8 mg/dl).  USG  Esofagoskopi  Klasifikasi Child Hood • Diagnosa o Perubahan status nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan gastrointestinal. o Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan berat badan. o Gangguan integritas kulit berhubungan dengan pembentukan edema. • Intervensi 1. Perubahan status nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat (anoreksia, nausea, vomitus) Tujuan : Status nutrisi baik. Intervensi : o Kaji intake diet, Ukur pemasukan diit, timbang BB tiap minggu. Rasional: Membantu dalam mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan diet. Kondisi fisik umum, gejala uremik (mual, muntah, anoreksia, dan ganggguan rasa) dan pembatasan diet dapat mempengaruhi intake makanan, setiap kebutuhan nutrisi diperhitungan dengan tepat agar kebutuhan sesuai dengan kondisi pasien, BB ditimbang untuk mengetahui penambahan dan penuruanan BB secara periodik. o Berikan makanan sedikit dan sering sesuai dengan diet. Rasional: Meminimalkan anoreksia dan mual sehubungan dengan status uremik. o Tawarkan perawatan mulut (berkumur/gosok gigi) dengan larutan asetat 25 % sebelum makan. Berikan permen karet, penyegar mulut diantara makan. Rasional: Membran mukosa menjadi kering dan pecah. Perawatan mulut menyejukkan, dan membantu menyegarkan rasa mulut, yang sering tidak nyaman pada uremia dan pembatasan oral. Pencucian dengan asam asetat membantu menetralkan ammonia yang dibentuk oleh perubahan urea (Black, & Hawk, 2005). o Identifikasi makanan yang disukai termasuk kebutuhan kultural. Rasional: Jika makanan yang disukai pasien dapat dimasukkan dalam perencanaan makan, maka dapat meningkatkan nafsu makan pasien. o Motivasi pasien untuk menghabiskan diet, anjurkan makan-makanan lunak. Rasional: Membantu proses pencernaan dan mudah dalam penyerapan makanan, karena pasien mengalami gangguan sistem pencernaan. o Berikan bahan penganti garam pengganti garam yang tidak mengandung amonium. Rasional: Garam dapat meningkatkan tingkat absorsi dan retensi cairan, sehingga perlu mencari alternatif penganti garam yang tepat. o Berikan diet 1700 kkal (sesuai terapi) dengan tinggi serat dan tinggi karbohidrat. Rasional: Pengendalian asupan kalori total untuk mencapai dan mempertahankan berat badan sesuai dan pengendalian kadar glukosa darah o Berikan obat sesuai dengan indikasi : Tambahan vitamin, thiamin, besi, asam folat dan Enzim pencernaan. Rasional: Hati yang rusak tidak dapat menyimpan Vitamin A, B kompleks, D dan K, juga terjadi kekurangan besi dan asam folat yang menimbulkan anemia. Dan Meningkatkan pencernaan lemak dan dapat menurunkan diare. o Kolaborasi pemberian antiemetik. Rasional: untuk menghilangkan mual / muntah dan dapat meningkatkan pemasukan oral. 2.Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan berat badan. Tujuan : Peningkatan energi dan partisipasi dalam aktivitas Intervensi : o Tawarkan diet tinggi kalori, tinggi protein (TKTP). Rasional : Memberikan kalori bagi tenaga dan protein bagi proses penyembuhan. o Berikan suplemen vitamin (A, B kompleks, C dan K) Rasional : Memberikan nutrien tambahan. o Motivasi pasien untuk melakukan latihan yang diselingi istirahat Rasional : Menghemat tenaga pasien sambil mendorong pasien untuk melakukan latihan dalam batas toleransi pasien. o Motivasi dan bantu pasien untuk melakukan latihan dengan periode waktu yang ditingkatkan secara bertahap. Rasional : Memperbaiki perasaan sehat secara umum dan percaya diri. 3.Gangguan integritas kulit berhubungan dengan pembentukan edema. Tujuan : Integritas kulit baik Intervensi : o Batasi natrium seperti yang diresepkan. Rasional : Meminimalkan pembentukan edema. o Berikan perhatian dan perawatan yang cermat pada kulit. Rasional : Jaringan dan kulit yang edematus mengganggu suplai nutrien dan sangat rentan terhadap tekanan serta trauma. o Ubah posisi tidur pasien dengan sering. Rasional : Meminimalkan tekanan yang lama dan meningkatkan mobilisasi edema. o Timbang berat badan dan catat asupan serta haluaran cairan setiap hari. Rasional : Memungkinkan perkiraan status cairan dan pemantauan terhadap adanya retensi serta kehilangan cairan dengan cara yang paling baik. o Lakukan latihan gerak secara pasif, tinggikan ekstremitas edematus. Rasional : Meningkatkan mobilisasi edema. o Letakkan bantalan busa yang kecil dibawah tumit, maleolus dan tonjolan tulang lainnya. Rasional : Melindungi tonjolan tulang dan meminimalkan trauma jika dilakukan dengan benar.
Read More : ASKEP SIROSIS HEPATIS

ASKEP MENINGITIS

A. Definisi Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi otak dan medula spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ jamur(Smeltzer, 2001). Meningitis merupakan infeksi akut dari meninges, biasanya ditimbulkan oleh salah satu dari mikroorganisme pneumokok, Meningokok, Stafilokok, Streptokok, Hemophilus influenza dan bahan aseptis (virus) (Long, 1996). Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi & Rita, 2001). B. Etiologi 1. Bakteri; Mycobacterium tuberculosa, Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa 2. Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia 3. Faktor predisposisi : jenis kelamin lakilaki lebih sering dibandingkan dengan wanita 4. Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir kehamilan 5. Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin. 6. Kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan dengan sistem persarafan C. Klasifikasi Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak, yaitu : 1. Meningitis serosa Adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan otak yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa. Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia. 2. Meningitis purulenta Adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang meliputi otak dan medula spinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa. C. Patofisiologi Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari oroaring dan diikuti dengan septikemia, yang menyebar ke meningen otak dan medula spinalis bagian atas. Faktor predisposisi mencakup infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis, anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain, prosedur bedah saraf baru, trauma kepala dan pengaruh imunologis. Saluran vena yang melalui nasofaring posterior, telinga bagian tengah dan saluran mastoid menuju otak dan dekat saluran vena-vena meningen; semuanya ini penghubung yang menyokong perkembangan bakteri. Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang di dalam meningen dan di bawah korteks, yang dapat menyebabkan trombus dan penurunan aliran darah serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan metabolisme akibat eksudat meningen, vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan medula spinalis. Radang juga menyebar ke dinding membran ventrikel serebral. Meningitis bakteri dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri dari peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier oak), edema serebral dan peningkatan TIK. Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum terjadi meningitis. Infeksi terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal, kolaps sirkulasi dan dihubungkan dengan meluasnya hemoragi (pada sindromWaterhouse-Friderichssen) sebagai akibat terjadinya kerusakan endotel dan nekrosis pembuluh darah yang disebabkan oleh meningokokus. D. Manifestasi klinis Gejala meningitis diakibatkan dari infeksi dan peningkatan TIK : 1. Sakit kepala dan demam (gejala awal yang sering) 2. Perubahan pada tingkat kesadaran dapat terjadi letargik, tidak responsif, dan koma. 3. Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda sbb: a) Rigiditas nukal ( kaku leher ). Upaya untuk fleksi kepala mengalami kesukaran karena adanya spasme otot-otot leher. b) Tanda kernik positip: ketika pasien dibaringkan dengan paha dalam keadan fleksi kearah abdomen, kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna. c) Tanda brudzinki : bila leher pasien di fleksikan maka dihasilkan fleksi lutut dan pinggul. Bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas bawah pada salah satu sisi maka gerakan yang sama terlihat peda sisi ektremita yang berlawanan. 4. Mengalami foto fobia, atau sensitif yang berlebihan pada cahaya. 5. Kejang akibat area fokal kortikal yang peka dan peningkatan TIK akibat eksudat purulen dan edema serebral dengan tanda-tanda perubahan karakteristik tanda-tanda vital(melebarnya tekanan pulsa dan bradikardi), pernafasan tidak teratur, sakit kepala, muntah dan penurunan tingkat kesadaran. 6. Adanya ruam merupakan ciri menyolok pada meningitis meningokokal. 7. Infeksi fulminating dengan tanda-tanda septikimia : demam tinggi tiba-tiba muncul, lesi purpura yang menyebar, syok dan tanda koagulopati intravaskuler diseminata E. Pemeriksaan Diagnostik 1. Analisis CSS dari fungsi lumbal : a) Meningitis bakterial : tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut, jumlah sel darah putih dan protein meningkat glukosa meningkat, kultur positip terhadap beberapa jenis bakteri. b) Meningitis virus : tekanan bervariasi, cairan CSS biasanya jernih, sel darah putih meningkat, glukosa dan protein biasanya normal, kultur biasanya negatif, kultur virus biasanya dengan prosedur khusus. 2. Glukosa serum : meningkat ( meningitis ) 3. LDH serum : meningkat ( meningitis bakteri ) 4. Sel darah putih : sedikit meningkat dengan peningkatan neutrofil ( infeksi bakteri ) 5. Elektrolit darah : Abnormal . 6. ESR/LED : meningkat pada meningitis 7. Kultur darah/ hidung/ tenggorokan/ urine : dapat mengindikasikan daerah pusat infeksi atau mengindikasikan tipe penyebab infeksi 8. MRI/ skan CT : dapat membantu dalam melokalisasi lesi, melihat ukuran/letak ventrikel; hematom daerah serebral, hemoragik atau tumor 9. Ronsen dada/kepala/ sinus ; mungkin ada indikasi sumber infeksi intra kranial. F. Komplikasi 1. Hidrosefalus obstruktif 2. MeningococcL Septicemia ( mengingocemia ) 3. Sindrome water-friderichen (septik syok, DIC,perdarahan adrenal bilateral) 4. SIADH ( Syndrome Inappropriate Antidiuretic hormone ) 5. Efusi subdural 6. Kejang 7. Edema dan herniasi serebral 8. Cerebral palsy 9. Gangguan mental 10. Gangguan belajar 11. Attention deficit disorder . G. Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian a) Biodata klien b) Riwayat kesehatan yang lalu (1) Apakah pernah menderita penyait ISPA dan TBC ? (2) Apakah pernah jatuh atau trauma kepala ? (3) Pernahkah operasi daerah kepala ? c) Riwayat kesehatan sekarang (1) Aktivitas Gejala : Perasaan tidak enak (malaise). Tanda : ataksia, kelumpuhan, gerakan involunter. (2) Sirkulasi Gejala : Adanya riwayat kardiopatologi : endokarditis dan PJK. Tanda : tekanan darah meningkat, nadi menurun, dan tekanan nadi berat, taikardi, disritmia. (3) Eliminasi Tanda : Inkontinensi dan atau retensi. (4) Makanan/cairan Gejala : Kehilangan nafsu makan, sulit menelan. Tanda : anoreksia, muntah, turgor kulit jelek dan membran mukosa kering. (5) Higiene Tanda : Ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri. (6) Neurosensori Gejala : Sakit kepala, parestesia, terasa kaku pada persarafan yang terkena, kehilangan sensasi, hiperalgesia, kejang, diplopia, fotofobia, ketulian dan halusinasi penciuman. Tanda : letargi sampai kebingungan berat hingga koma, delusi dan halusinasi, kehilangan memori, afasia,anisokor, nistagmus,ptosis, kejang umum/lokal, hemiparese, tanda brudzinki positif dan atau kernig positif, rigiditas nukal, babinski positif,reflek abdominal menurun dan reflek kremastetik hilang pada laki-laki. (7) Nyeri/keamanan Gejala : sakit kepala(berdenyut hebat, frontal). Tanda : gelisah, menangis. (8) Pernafasan Gejala : riwayat infeksi sinus atau paru. Tanda : peningkatan kerja pernafasan. 2. Diagnosa keperawatan a) Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi sehubungan dengan diseminata hematogen dari patogen b) Risiko tinggi terhadap perubahan serebral dan perfusi jaringan sehubungan dengan edema serebral, hipovolemia. c) Risisko tinggi terhadap trauma sehubungan dengan kejang umum/fokal, kelemahan umum, vertigo. d) Nyeri (akut) sehubungan dengan proses inflamasi, toksin dalam sirkulasi. e) Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan neuromuskular, penurunan kekuatan f) Anxietas berhubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian. 3. Intervensi keperawatan a) Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi sehubungan dengan diseminata hematogen dari patogen. Mandiri  Beri tindakan isolasi sebagai pencegahan  Pertahan kan teknik aseptik dan teknik cuci tangan yang tepat.  Pantau suhu secara teratur  Kaji keluhan nyeri dada, nadi yang tidak teratur demam yang terus menerus  Auskultasi suara nafas ubah posisi pasien secara teratur, dianjurkan nfas dalam  Cacat karakteristik urine (warna, kejernihan dan bau ) Kolaborasi  Berikan terapi antibiotik iv: penisilin G, ampisilin, klorampenikol, gentamisin. b) Resiko tinggi terhadap perubahan cerebral dan perfusi jaringan sehubungan dengan edema serebral, hipovolemia. Mandiri  Tirah baring dengan posisi kepala datar.  Pantau status neurologis.  Kaji regiditas nukal, peka rangsang dan kejang  Pantau tanda vital dan frekuensi jantung, penafasan, suhu, masukan dan haluaran.  Bantu berkemih, membatasi batuk, muntah mengejan. Kolaborasi.  Tinggikan kepala tempat tidur 15-45 derajat.  Berikan cairan iv (larutan hipertonik, elektrolit ).  Pantau BGA.  Berikan obat : steoid, clorpomasin, asetaminofen c) Resiko tinggi terhadap trauma sehubungan dengan kejang umum/vokal, kelemahan umum vertigo. Mandiri  Pantau adanya kejang  Pertahankan penghalang tempat tidur tetap terpasang dan pasang jalan nafas buatan  Tirah baring selama fase akut kolaborasi berikan obat : venitoin, diaepam, venobarbital. d) Nyeri (akut ) sehubungan dengan proses infeksi, toksin dalam sirkulasi. Mandiri.  Letakkan kantung es pada kepala, pakaian dingin di atas mata, berikan posisi yang nyaman kepala agak tinggi sedikit, latihan rentang gerak aktif atau pasif dan masage otot leher.  Dukung untuk menemukan posisi yang nyaman(kepala agak tingi)  Berikan latihan rentang gerak aktif/pasif.  Gunakan pelembab hangat pada nyeri leher atau pinggul Kolaborasi  Berikan anal getik, asetaminofen, codein e) Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan neuromuskuler.  Kaji derajat imobilisasi pasien.  Bantu latihan rentang gerak.  Berikan perawatan kulit, masase dengan pelembab.  Periksa daerah yang mengalami nyeri tekan, berikan matras udsra atau air perhatikan kesejajaran tubuh secara fumgsional.  Berikan program latihan dan penggunaan alat mobiluisasi. f) Perubahan persepsi sensori sehubungan dengan defisit neurologis  Pantau perubahan orientasi, kemamapuan berbicara,alam perasaaan, sensorik dan proses pikir.  Kaji kesadara sensorik : sentuhan, panas, dingin.  Observasi respons perilaku.  Hilangkan suara bising yang berlebihan.  Validasi persepsi pasien dan berikan umpan balik.  Beri kessempatan untuk berkomunikasi dan beraktivitas.  Kolaborasi ahli fisioterapi, terapi okupasi,wicara dan kognitif. g) Ansietas sehubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian.  Kaji status mental dan tingkat ansietasnya.  Berikan penjelasan tentang penyakitnya dan sebelum tindakan prosedur.  Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan.  Libatkan keluarga/pasien dalam perawatan dan beri dukungan serta petunjuk sumber penyokong. H. Evaluasi Hasil yang diharapkan 1. Mencapai masa penyembuhan tepat waktu, tanpa bukti penyebaran infeksi endogen atau keterlibatan orang lain. 2. Mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik dan fungsi motorik/sensorik, mendemonstrasikan tanda-tanda vital stabil. 3. Tidak mengalami kejang/penyerta atau cedera lain. 4. Melaporkan nyeri hilang/terkontrol dan menunjukkan postur rileks dan mampu tidur/istirahat dengan tepat. 5. Mencapai kembali atau mempertahankan posisi fungsional optimal dan kekuatan. 6. Meningkatkan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi. 7. Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang dan mengungkapkan keakuratan pengetahuan tentang situasi. DAFTAR PUSTAKA 1. Doenges, Marilyn E, dkk.(1999).Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih Bahasa, I Made Kariasa, N Made Sumarwati. Editor edisi bahasa Indonesia, Monica Ester, Yasmin asih. Ed.3. Jakarta : EGC. 2. Harsono.(1996).Buku Ajar Neurologi Klinis.Ed.I.Yogyakarta : Gajah Mada University Press. 3. Smeltzer, Suzanne C & Bare,Brenda G.(2001).Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.Alih bahasa, Agung Waluyo,dkk.Editor edisi bahasa Indonesia, Monica Ester.Ed.8.Jakarta : EGC. 4. Tucker, Susan Martin et al. Patient care Standards : Nursing Process, diagnosis, And Outcome. Alih bahasa Yasmin asih. Ed. 5. Jakarta : EGC; 1998. 5. Price, Sylvia Anderson. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta : EGC; 1994. 6. Long, Barbara C. perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. Bandung : yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan; 1996.
Read More : ASKEP MENINGITIS

Sabtu, 03 Maret 2012

Multiple Sclerosis (MS)



Definisi
Multiple sclerosis (MS) adalah suatu penyakit dimana syaraf-syaraf dari sistim syaraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang atau spinal cord) memburuk atau degenerasi. Myelin, yang menyediakan suatu penutup atau isolasi untuk syaraf-syaraf, memperbaiki pengantaran (konduksi) dari impuls-impuls sepanjang syaraf-syaraf dan juga adalah penting untuk memelihara kesehatan dari syaraf-syaraf. Pada multiple sclerosis, peradangan menyebabkan myelin akhirnya menghilang. Sebagai konsekwensinya, impuls-impuls listrik yang berjalan sepanjang syaraf-syaraf memperlambat, yaitu menjadi lebih perlahan. Sebagai tambahan, syaraf-syaraf sendiri menjadi rusak. Ketika semakin banyak syaraf-syaraf yang terpengaruh, seorang pasien mengalami suatu gangguan yang progresif pada fungsi-fungsi yang dikontrol oleh sistim syaraf seperti penglihatan, kemampuan berbicara, berjalan, menulis, dan ingatan.
Multiple sclerosis (MS) merupakan keadaan kronis, penyakit degeneratif dikarakteristikkan oleh adanya bercak kecil demielinasi pada otak dan medulla spinalis
Demielinasi menunjukkan kerusakan myelin yakni adanya material lunak dan protein disekitar serabut-serabut saraf otak. Myelin adl. Substansi putih yang menutupi serabut saraf yang berperan dalam konduksi saraf normal (konduksi salutatory). MS merupakan salah satu gangguan neurologik yang menyerang usia muda sekitar 18-40 tahun. Insidens terbanyak terjadi pada wanita.

Gejala Klinia MS.
1. Kelemahan umum :
biasanya muncul setelah aktivitas minimal,kelemahan bertambah berat dengan adanya peningkatan suhu tubuh dan kelembapan tinggi, yang disebut sebagai Uht holff fenomena (pada akson yang mengalami demylisasi). Kelemahan seperti ini dapat dosertai kekakuan pada ekstermitas sampai drop foot
2. Gangguan sensoris :
Baal, kesemutan, perasaan seperti diikat, ditusuk jarum, dingin pada tungkai dan tangan, pada pemeriksaan fisik dengan test lhermitte biasa + (30%) hal ini akibat adanya plek pada kolumna servikal posterior yang kemudian meiritasi dan menekan medula spinalis.
3. Nyeri :
Pada kebanyakan pasien MS akan mengalami nyeri (Clifford & Troter), nyeri bersifat menahun. Nyeri pada MS berbentuk:
a. Nyeri kepala relatif sering didapatkan (27%)
b. Nyeri neurolgia trigeminal: pada orang muda dan bilateral (Jensen,1982) relatif jarang
(5%)
c. Nyeri akibat peradangan nervus optikus akibat penekanan dura sekitar nervus optikus
d. Nyeri visceral berupa spasme kandung kemih, konstipasi
4. Gangguan Blader :
Pada 2/3 kasus MS akan mengalami gangguan hoperreflek blader oleh karena gangguan spincter, pada fase awal areflek dan 1/3 hiporelek dengan gejala impoten.
5. Gangguan serebelum :
50% kasus memberi gejala intension tremor,ataksia, titubasi kepala, disestesia, dan dikenal sebagai trias dari Charcott: nistagmus, gangguan bicara, intension tremor
6. Gangguan batang otak :
lesi pada batang otak akan mengganggu saraf intra aksonal, nukleus, internuklear, otonom dan motorik, sensorik sepanjang traktus-traktus.
a. Lesi N III-IV menyebabkan diplopia, parese otot rektus medial yang menyebabkan internuklear ophtalmoplegi (INO) patognomonis untuk MS
b. Lesi N VII menyebabkan Bell palsy
c. Lesi N VIII menyebabkan vertigor (sering), hearing loss (jarang)
7. Gangguan N Optikus (Neuritis optika) :
Terutama pada pasien muda (Reder, 1997) sebanyak 31%, gejala berupa, penurunan ketajaman penglihatan, skotoma sentral, gangguan persepsi warna, nyeri pada belakang bola mata, visus akan membaik setelah 2 minggu onset neuritis optika kemudian sembuh dalam beberapa bulan. Penambahan suhu tubuh akan memperbesar gejala (uht holff)
8. Gangguan fungsi luhur :
Fungsi luhur umunya masih dalam batas normal, akan tetapi pada pemeriksaan neuropsikologi didapatkan perlambatan fungsi kognisi sampai sedang atau kesulitan menemukan kata (Rao, 1991).

GEJALA UMUM MS :
• Perasaan sakit seperti ditusuk-tusuk pisau di beberapa bagian tubuh.
• Kebas (kesumutan/ mati rasa) di beberapa bagian tubuh
• Kehilangan fungsi penglihatan (bersifat sementara/menetap)
• Pandangan kabur (blurred) atau pengkihatan membayang (seeing double)
• Kehilangan fungsi pendengaran.
• Melemahnya kemampuan motorik dan sensorik di seluruh atau sebagian tubuh, biasanya terutama tangan dan kaki.
• Kelumpuhan tiba-tiba.
• Kehilangan kesimbangan tubuh, timbul perasaan seperti melayang (vertigo).
• Migraine yang parah.
• Kepala bagian belakan terasa berat.
• Sakit kepala dengan tingkat kesakitan yang sangat extrim (tingkat sakitnya mungkin sama dengan 50X sakit kepala karena FLU)
• Fatigue, perasaan lelah berlebihan.
• Sensitive terhadap udara/air panas.
• Kesulitan berbicara.
• Sesak nafas.
• Kesulitan menelan makanan/minuman, tubuh tidak bias menerima makanan/minuman.
• Nyeri di tulang belakang dengan tingkat kesakitan yang sangat extrim.
• Gangguan pada kandung kemih dan alat pencernaan (tidak bias menahan keluarnya urine atau sulit mengeluarkan urine, mudah diare, konstipasi dsb.)
• Gangguan fungsi kognitif (misalnya berkurangnya daya ingat/ mudah lapar, menurunnya daya kosentrasi, dsb.)
• Gangguan psikologis (depresi, kehilangan kendali emosi, kehilangan control diri, paranoid,dsb.)
• Nyeri dan kejang otot.
• Tremor (gemetaran seperti penderita alzheimer)
• Gejala-gejala multiple sclerosis yang telah di sebutkan di atas adalah gejala umum yang bias di derita penderita Multiple sclerosis. Seorang penderita Multiple Sclerosis belum tentu mengalami gajala di atas. Bias saja penderita tersebut hanya mengalami 5-10 gejala di atas, atau ada juga yang mengalami gejala lain yang tidak disebutkan di atas.

Etiologi
Penyebab MS adalah suatu autoimmun yang menyerang myelin dan myelin forming sel pada otak dan medula spinalis, akan tetapi pada MS sebenarnya bukan suatu autoimmun murni oleh karena tidak adanya antigen respon immun yang abnormal. Kausa MS terdiri dari:
a. Virus : infeksi retrovirus akanmenyebabkan kerusakan oligodendroglia
b. Bakteri : reaksi silang sebagai respon perangsangan heat shock protein sehingga menyebabkan pelepasan sitokin
c. Defek pada oligodendroglia
d. Diet : berhubungan dengan komposisi membran, fungsi makrofag,sintesa prostaglandin
e. Genetika : penurunan kontrol respon immun
f. Mekanisme lain : toksin, endokrin, stress

Pemicu Terjadinya Serangan MS
Ada beberapa pemicu serangan Ms yang harus dihindari penderita agar tidak mempercepat progresifitas atau perburukan penyakitnya yaitu :
 Panas
 Penderita MS sebaiknya tidak berada diluar rumah tanpa perlindungan ketika
hari sedang pana terik.
 Penderita MS sebaiknya tidak tinggal di daerah panas seperti daerah pantai.
 Penderita M sebaiknya tidak mandi air Hangat
 Penderita MS sebaiknya tidak mandi sauna.
 b.Kerja Berat
Penderita MSS sebaiknya tidak melakukan aktivitas atau pekerjaan fisik yang terlalu berat.
 c.Stress
Penderita MS edapat mungkin harus menghindari stress atau guncangan mental sekecil apapunkarena stress adalah pemicu seranga yang paling berbahaya bagi penderita MS.

Klasifikasi MS
1. Relapsing-Remitting (RR) MS
Ini adlah jenis MS yang klasik yang sering kali timbul pada akhir usia belasan atau dua puluhan tahun diawali dengan suatu erangan hebat yang kemudian diikuti dengan kesembuhan semu.Yang dimaksud dengan kesembuhan semu adalah setelah serangan hebat penderita terlihat pulih.Namun sebenarnya,tingkat kepulihan itu tidak lagi sama dengan tingkat kepulihan sebelum terkena serangan.sebenarnya kondisinya adalah sedikit demi sedikit semakin memburuk.jika sebelum terkena serangan hebat pertama penderita memiliki kemampuan motorik dan sensorik 100%,maka setelah serangan tersebut mungkin hanya akan pulih 70-95% aja.serangan berikut akan terus menurukan kemampuan penderita sampai ke 0%.setiap serangan tersebut berakibat semakin memburuknya kondisi penderita.Interval waktu antara serangan satu dengan serangan yang selanjutnya sama sekali tidak bias diduga,bia dalam hitungan hari,minggu bulan atau tahun.Hampir 70% penderita MS pada awalnya mengalami kondisi ini,setelah beberapa kali mengalami serangan hebat,jenis MS ini akan berubah menjadi Secondary Progressiv MS.
2. Primary-Progressive (PP) MS
ada suatu kemunduran berangsur-angsur yang terus menerus pada kemampuan-kemampuan fisik seorang pasien dari permulaan daripada kekambuhan-kekambuhan. Kira-kira 10%-20% dari pasien-pasien mulai dengan PP-MS. Pada jenis ini kondisi penderita terus memburuk. ada saat – saat penderita tidak mengalami penurunan kondisi ,namun jenis MS ini tidak mengenal istilah kesembuhan semu .Tingkat progresivitanya beragam pada tingakatan yang paling parah ,penderita Ms jenis ini bias berakhir dengan kematian
3. Secondary-Progressive (SP)
Pasien-passien yang mulai dengan RR-MS dapat kemudian memasuki suatu fase dimana kekambuhan-kekambuhan adalah jarang namun lebih banyak ketidakmampuan berakumulasi, dan dikatakan mempunyai tipe SP. Kira-kira 50% dari pasien-pasien RR-MS akan mengembangkan SP-MS dalam 10 tahun.
4. Benign MS
Sekitar 20% penderita MS jinak ini.Pada jenis MS ini penderita mampu menjalani kehidupan seperti orang sehat tanpa begantung pada siapapun.Serangan – serangan yang diderita pun umumnya tidak pernah berat,sehingga para penderita sering tidak menyadari bahwa dirinya menderita MS.

Diagnosa
Karena tidak ada yang spesifik untuk MS, maka diagnosa terutama berdasarkan adanya remisi dan relaps pada orang muda, dengan lesi multifokal dan asimetrik pada traktus subtansia alba.
1. Clinically definite MS
Terbukti dari riwayat penyakit dan pemeriksaan neurologi terdapat lebih dari satu lesi atau dua episode gejala dari satu lesi dan bukti lesi pada MRI atau evoked
2. Laboratory supported definite MS
Terbuktinya ada dua lesi adri riwayat penyakit dan pemeriksaan jika hanya saru lesi yang terbukti maka lesi lain terbukti dari MRI atau evoked potensial dan kadar Ig G abnormal
3. Clinically probable MS
Jika hanya dari pemeriksaan atau anamnesa dan bukan dari keduanya,terbukti ada lebih dari satu lesi. Jika hanya satu lesi terbukti dari anamnesa dan hanya satu dari pemeriksaan neurologik, evoked potensial atau adanya bukti pada MRI lebih lesi dan pemeriksaan IgG CSF normal.
4. Laboratory supported probable
Kriteria yang dipakai pada MS ada dua yaitu kriteria Schumacher dan Poser, tetapi yang banyak adalah kriteria poser.

Laboratorium
Untuk mendiagnosa MS kadang sulit terutama pada fase awal penyakit, sehingga pemeriksaan laboratorium yang spesifik dapat digunakan untuk membantu diagnosa, pemeriksaan MRI, evoked potensial, pemeriksaan CSF dapat membantu diagnosa sesuai kriteria poser.
1. Pemeriksaan CSF
a. Jumlah sel
• Pada keadaan normal jumlah sel <5/mm3, pada 50% clinically MS dengan jumlah sel >5mm3
• Jumlah sel 5-35/mm3
• Jumlah sel > 25/ mm3 sangat jarang untuk MS (1%)
b. Pemeriksaan isoelektrik oligoclonal IgG bands
Pemeriksaan ini sangat membantu diagnosa,akan tetapi pemeriksaan ini tidak spesifik untuk MS oleh karena kadarnya juga meningkat pada 1/3 kasus dengan penyakit inflamasi susunan saraf pusat, infeksi susunan saraf pusat
c. Deteksi gangguan blood brain barrier (BBB)
Study tentang CSF dapat menerangkan gangguan BBB berupa adanya peningkatan immunoglobulin G abnormal antara CSF-SSP dapat menunjang diagnosa MS



Pada 7% clinically defenite MS mempunyai IgG>0,7
d. Pemeriksaan protein
Peningkatan albumin quosien (CSF albumin/serum albumin) ditemukan pada 10-15 % pasien clinically definite MS. Jumlah protein dapat normal atau meningkat (jarang>100 mg/dl).
2. Pemeriksaan evoked potensial
• Visual evoked respon sangat sensitif untuk menentukan adanya plak pada N optikus, kiasma, traktus, respon abnormal terdapat pada clinically definite MS (85%)
• Brainstem auditory: digunakan untuk menentukan lesi di pons. Respon abnormal didapati pada 64% definite MS dan 41% probable MS
• Somatosensory: digunakan untuk mengetahui gangguan sensoria pada pasien MS yang pada pemeriksaan klinik normal. Respon abnormal terdapat pada 77% definite MS, 67% probable MS.
3. MRI
Pada pemeriksaan MRI terjadi peningkatan low intensitas signal T2-weighted, hal ini disebabkan oleh karena reaksasimolekul air yang di fasilitasi dengan berbagai protein pada selubung myelin. Pada MS terjadi kerusakan myelin sehingga molekul air terbebas dari komperment, dengan ada air bebas maka relaksasi time lebih lama sehingga
menyebabkan peningkatan signal T2-weighted.Sayangnya pemeriksaan MRI tidak spesifik untuk MS oleh karena proses lain seperti edema, gliosis, inflamasi juga meningkatkan signal T2 Weighted. Gambaran lesi biasanya berbentuk ovoid, elipsoid oleh karena infiltrasi peri venuler yang kemudian menyebar sekitarnya, yang dikenal sebagai Dawson finger. Untuk pemeriksaan MRI dikenal kriteria dari Paty dimana MRI scan sangat membantu diagnosa MS. Kriteria Paty:
• 4 lesi ditemukan
• atau 3 lesi ditemukan dengan 1 bagian perivemtrikuler Paty kriteria memiliki sensivitas sekitar 94% dan spesivitas jauh lebih rendah <57%.

Diagnosa banding
1. ADEM (Acute Disseminated Encephalomyelitis)
Sulit membedakan antara serangan pertama dengan ADEM, biasanya timbul post infeksi atau post vaksinasi terutama pada anak-anak dengan gejala utama demam, nyeri kepala, meningismus.
2. Lyme discase
Suatu infeksi kronis susunan saraf pusat oleh Borrelia burgdorferi, gejala terdiri dari paraparese spastik, gangguan serebelum, gangguan saraf otak, gambaran MRI dan CSF mirip dengan MS. Diagnosa ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit akut dengan rasa dan adanya antibodi terhadap antigen Borrellia yang tinggi dalam CSF, serum.
3. Sindroma paraneoplastik
4. Subakut combined degeneration (SCD),
Dibedakan dengan neuropati perifer dan penurunan kadar vitamin B12
5. Cerebro vasculer disease (CVD)
6. Tumor otak dan medula spinalis
7. Neuromyelitis optika:
Ditandai neuritis optika akut bilateral danmyelitis transversa. Kriteria diagnosa kelainan akut medula spinalis dan N optikus yang timbul bersamaan atau terpisah dalam bulan-tahun tanpa gejala batang otak,serebelum, kortek.

Penatalaksanaan
1. Relaps akut:
Metyl prednisolon per infus 1 gram/hari selama 7-10 hari, kemudian po(per oral) prednison 80 mg selama 4 hari kemudian tapering off 40,20,10 mg masing-masing 4 hari
2. Pencegahan relaps
Inferon B: efektif untuk mencegah relaps pada MS, cara pemberian injeksi subkutan, obat ini untuk penderita 2 atau lebih serangan pada 2 tahun pertama. Sekarang digunakan intarvenous IgG dengan dosis 0,4 gr/koagulan.hari selama 5 hari, kemudian dibooster 0,4 gr/koagulan/hari setiap 2 bulan dalam 2 tahun.
3. Kronik progresif
Dapat diberikan immunosupresan misalnya azahioprin, methotrexate, cyclophosphamide tetapi sayang hasilnya tidak memuaskan
4. Therapi simtomatis:
• Bangkitan dapat diberi carbamazepin
• Nyeri karena neuralgia trigeminal diberikan carbamazepin, fenitoin,gabapentin, baclofen + amitriptilin
• Spastisitas diber baclofen
• Kelemahan umum dapat diberikan anti kolinergik misal ditropan, propantelin 2-3 x/hari
• Gangguan emosi dan pseudobulber dapat diberikan amitriptilin 25 mg pada waktu malam

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. DATA UMUM
2. DATA DASAR :
- Aktivitas / istirahat
Gejala : kelemahan, intoleransi aktivitas, kebas, parastesia eksterna
Tanda : kelemahan umum, penurunan tonus/massa otot, jalan goyah/diseret, ataksia
- Sirkulasi
Gejala : edema
Tanda : ekstremitas mengecil, tidak aktif, kapiler rapuh
- Integritas ego
Gejala : HDR, ansietas, putus asa, tidak berdaya, produktivitas menurun
- Eliminasi
Gejala : nokturia, retensi, inkontinensia, konstipasi, infeksi saluran kemih
Tanda : control sfingter hilang, kerusakan ginjal
- Makanan / cairan
Gejala : sulit mengunyah/menelan
Tanda : sulit makan sendiri
- Hygiene
Gejala : bantuan personal hygiene
Tanda : kurang perawatan diri
- Nyeri / ketidaknyamanan
Gejala : nyeri spasme, neuralgia fasial
- Keamanan
Gejala : riwayat jatuh/trauma, penggunaan alat bantu
- Seksualitas
Gejala : impotent, gangguan fungsi seksual
- Interaksi social
Gejala : menarik diri
Tanda : gangguan bicara
- Neurosensori
Gejala : kelemahan, paralysis otot, kebas, kesemutan, diplopia, pandangan kabur, memori hilang, susah berkomunikasi, kejang
Tanda : status mental (euphoria, depresi, apatis, peka, disorientasi.
• Bicara terbata-bata, kebutaan pada satu mata, gangguan sensasi sentuh/nyeri, nistagmus, diplopia
• Kemampuan motorik hilang, spastic paresis, ataksia, tremor, hiperfleksia, babinski + , klonus pada lutut

B. DIAGNOSA DAN INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Dx. Kerusakan mobilitas fisik b.d kelemahan, paresis otot, spastisitas
KH :
• berpartisipasi dalam program rehabilitasi
• mendemonstrasikan tingkah laku yang mempertahankan/meningkatkan aktivitas
Intervensi :
• tentukan tingkat kemampuan aktivitas klien
• Kaji adanya kelemahan
• Berikan perubahan posisi secara teratur pada pasien yang tirah baring
• Bantu pemenuhan kebutuhan dasar klien sesuai dengan kebutuhan
• Kolaborasi : terapi fisik/kerja oleh ahli fisioterapi, pengobatan (steroid, baklofen, imunosupresan)

2. Dx. Perubahan pola eliminasi urinarius : inkontinensia b.d gangguan neuromuskuler
KH :
• Klien mampu memaham kondisinya
• Klien menunjukkan teknik mencegah infeksi
Intervensi :
• Catat frekuensi berkemih
• Lakukan program latihan kandung kemih
• Anjirkan minum cukup dan menghindari minum sebelum tidur
• Lakukan dan anjurkan klien untuk melakukan perineal hygiene setelah berkemih
• Berikan perawatan kateter pada klien yang terpasang kateter urin
• Kolaborasi : pasang kateter jika diperlukan, pengobatan (antibiotic)

3. Dx. Koping individu tidak efektif b.d perubahan fisiologis, cemas dan takut
KH : klien bisa menerima keadaannya
Intervensi :
• Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya
• Kaji mekanisme koping yang biasa digunakan
• Dengarkan keluhan klien dengan empatik
• Bantu klien mengidentifikasi sisi positif yang dimiliki klien
• Berikan imformasi ytang dibutuhkan klien
• Kolaborasi : konsulkan ke ahli psikoterapi
Read More : Multiple Sclerosis (MS)

BPH (Benign Prostat Hiperplasia)


A. DEFINISI
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau disebut tumor prostat jinak adalah pertumbuhan berlebihan dari sel-sel prostat yang tidak ganas. Pembesaran prostat jinak akibat sel-sel prostat memperbanyak diri melebihi kondisi normal, biasanya dialami laki-laki berusia di atas 50 tahun.
Hiperplasia prostatic adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat ; pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periureteral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa. Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan struma fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Prostat tersebut mengelilingi uretra, dan pembesaran bagian periureteral akan menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan uretra pars prostatika, yang mengakibatkan berkurangnya aliran kemih dari kandung kemih. Penyebab BPH kemungkinan berkaitan dengan penuaan dan disertai dengan perubahan hormon. Dengan penuaan, kadar testosteron serum menurun, dan kadar esterogen serum meningkat. Terdapat teori bahwa rasio esterogen atau androgen yang lebih tinggi akan merangsang hyperplasia jaringan prostat.( Patofisiologi : Sylvia A.Price )
B. ANATOMI PROSTAT

Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul fibromuskuler, yang terletak di sebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi bagian proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah anterior rektum. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram, dengan jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm dengan tebal 2,5 cm.5
Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus :
• lobus medius
• lobus lateralis (2 lobus)
• lobus anterior
• lobus posterior 5,6
Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus posterior akan menjadi satu dan disebut lobus medius saja. Pada penampang, lobus medius kadang-kadang tak tampak karena terlalu kecil dan lobus lain tampak homogen berwarna abu-abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat.
Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain adalah: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan zona periuretral. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional yang letaknya proksimal dari sfincter eksternus di kedua sisi dari verumontanum dan di zona periuretral. Kedua zona tersebut hanya merupakan 2% dari seluruh volume prostat. Sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.
Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara di kanan dari verumontanum dibagian posterior dari uretra pars prostatika. Di sebelah depan didapatkan ligamentum pubo prostatika, di sebelah bawah ligamentum triangulare inferior dan di sebelah belakang didapatkan fascia denonvilliers.
Fascia denonvilliers terdiri dari 2 lembar, lembar depan melekat erat dengan prostat dan vesika seminalis, sedangkan lembar belakang melekat secara longgar dengan fascia pelvis dan memisahkan prostat dengan rektum. Antara fascia endopelvic dan kapsul sebenarnya dari prostat didapatkan jaringan peri prostat yang berisi pleksus prostatovesikal.
Pada potongan melintang kelenjar prostat terdiri dari :
1. Kapsul anatomis
Sebagai jaringan ikat yang mengandung otot polos yang membungkus kelenjar prostat.
2. Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler
3. Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian:
• Bagian luar disebut glandula principalis atau kelenjar prostat sebenarnya yang menghasilkan bahan baku sekret.
• Bagian tengah disebut kelenjar submukosa, lapisan ini disebut juga sebagai adenomatous zone
• Di sekitar uretra disebut periurethral gland atau glandula mukosa yang merupakan bagian terkecil. Bagian ini serinng membesar atau mengalami hipertrofi pada usia lanjut.

Pada BPH, kapsul pada prostat terdiri dari 3 lapis :
1. Kapsul anatomis
2. Kapsul chirurgicum, ini terjadi akibat terjepitnya kelenjar prostat yang sebenarnya (outer zone) sehingga terbentuk kapsul
3. Kapsul yang terbentuk dari jaringan fibromuskuler antara bagian dalam (inner zone) dan bagian luar (outer zone) dari kelenjar prostat.
BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena mengandung banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada bagian posterior daripada lobus medius (lobus posterior) yang merupakan bagian tersering terjadinya perkembangan suatu keganasan prostat. Sedangkan lobus anterior kurang mengalami hiperplasi karena sedikit mengandung jaringan kelenjar.
Secara histologis, prostat terdiri atas kelenjar-kelenjar yang dilapisi epitel thoraks selapis dan di bagian basal terdapat juga sel-sel kuboid, sehingga keseluruhan epitel tampak menyerupai epitel berlapis.
Vaskularisasi
Vaskularisasi kelenjar prostat yanng utama berasal dari a. vesikalis inferior (cabang dari a. iliaca interna), a. hemoroidalis media (cabang dari a. mesenterium inferior), dan a. pudenda interna (cabang dari a. iliaca interna). Cabang-cabang dari arteri tersebut masuk lewat basis prostat di Vesico Prostatic Junction. Penyebaran arteri di dalam prostat dibagi menjadi 2 kelompok , yaitu:
1. Kelompok arteri urethra, menembus kapsul di postero lateral dari vesico prostatic junction dan memberi perdarahan pada leher buli-buli dan kelompok kelenjar periurethral.
2. Kelompok arteri kapsule, menembus sebelah lateral dan memberi beberapa cabang yang memvaskularisasi kelenjar bagian perifer (kelompok kelenjar paraurethral).
Aliran Limfe
Aliran limfe dari kelenjar prostat membentuk plexus di peri prostat yang kemudian bersatu untuk membentuk beberapa pembuluh utama, yang menuju ke kelenjar limfe iliaca interna , iliaca eksterna, obturatoria dan sakral.
Persarafan
Sekresi dan motor yang mensarafi prostat berasal dari plexus simpatikus dari Hipogastricus dan medula sakral III-IV dari plexus sakralis.

C. FISIOLOGI PROSTAT
Prostat adalah kelenjar sex sekunder pada laki-laki yang menghasilkan cairan dan plasma seminalis, dengan perbandingan cairan prostat 13-32% dan cairan vesikula seminalis 46-80% pada waktu ejakulasi. Kelenjar prostat dibawah pengaruh Androgen Bodies dan dapat dihentikan dengan pemberian Stilbestrol.
D. ETIOLOGI
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).
Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah:
1. Teori Hormonal
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal, yaitu antara hormon testosteron dan hormon estrogen. Karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer dengan pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosteron diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogenlah yang berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah perubahan konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran prostat.
Pada keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan produksi hormon androgen testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan makin bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis) yang akan menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi androgen. Hal ini mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat merangsang produksi hormon estrogen oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis, prostat terdiri dari dua bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen dan bagian perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen.
2. Teori Growth Factor (Faktor Pertumbuhan)
Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar prostat. Terdapat empat peptic growth factor yaitu: basic transforming growth factor, transforming growth factor 1, transforming growth factor 2, dan epidermal growth factor.

3. Teori peningkatan lama hidup sel-sel prostat karena berkuramgnya sel yang mati
4. Teori Sel Stem (stem cell hypothesis)
Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada seorang dewasa berada dalam keadaan keseimbangan “steady state”, antara pertumbuhan sel dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar testosteron tertentu dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat berproliferasi. Pada keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga terjadi proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar periuretral prostat menjadi berlebihan.


5. Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh globulin menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam “target cell” yaitu sel prostat melewati membran sel langsung masuk kedalam sitoplasma, di dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha reductase menjadi 5 dehidrotestosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor sitoplasma menjadi “hormone receptor complex”. Kemudian “hormone receptor complex” ini mengalami transformasi reseptor, menjadi “nuclear receptor” yang masuk kedalam inti yang kemudian melekat pada chromatin dan menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan sintese protein menyebabkan terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat

E. GAMBARAN KLINIS BPH
Gejala hiperplasia prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar saluran kemih.

1. Gejala pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih sebelah bawah (LUTS) terdiri atas gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus.
Gejalanya ialah :
• Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistancy)
• Pancaran miksi yang lemah (weak stream)
• Miksi terputus (Intermittency)
• Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
• Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying).
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih tergantung tiga faktor, yaitu :
• Volume kelenjar periuretral
• Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
• Kekuatan kontraksi otot detrusor
Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi, sehingga meskipun volume kelenjar periurethral sudah membesar dan elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih dikompensasi dengan kenaikan daya kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan.8
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaria yang tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh.
Gejalanya ialah :
• Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
• Nokturia
• Miksi sulit ditahan (Urgency)
• Disuria (Nyeri pada waktu miksi)
Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus. Secara klinis derajat berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi :
• Grade I : Gejala prostatismus + sisa kencing
• Grade II : Gejala prostatismus + sisa kencing > 50 ml
• Grade III: Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih bagian atas + sisa urin > 150 ml.
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih sebelah bawah, WHO menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang disebut Skor Internasional Gejala Prostat atau I-PSS (International Prostatic Symptom Score). Sistem skoring I-PSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi (LUTS) dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setiap pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi diberi nilai 0 sampai dengan 5, sedangkan keluhan yang menyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1 hingga 7.
Pertanyaan :
1. Adakah anda merasa buli-buli tidak kosong setelah berkemih ?
2. Berapa kali anda berkemih lagi dalam waktu 2 menit ?
3. Berapa kali terjadi arus urin berhenti sewaktu berkemih ?
4. Berapa kali anda tidak dapat menahan untuk berkemih ?
5. Berapa kali terjadi arus lemah sewaktu memulai kencing ?
6. Berapa keli terjadi bangun tidur anda kesulitan memulai untuk berkemih ?
7. Berapa kali anda bangun untuk berkemih di malam hari ?
Skor :
0 = baik sekali 3 = kurang
1 = baik 4 = buruk
2 = kurang baik 5 = buruk sekali



Timbulnya gejala LUTS merupakan menifestasi kompensasi otot vesica urinaria untuk mengeluarkan urin. Pada suatu saat otot-otot vesica urinaria akan mengalami kepayahan (fatique) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi urin akut.
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hiperplasi prostat pada saluran kemih bagian atas berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis)., atau demam yang merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis.
3. Gejala di luar saluran kemih
Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia inguinalis atau hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intraabdominal.
F. DIAGNOSIS
a. Anamnesis : gejala obstruktif dan gejala iritatif
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus spingter ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan di dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan :
• Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)
• Adakah asimetris
• Adakah nodul pada prostate
• Apakah batas atas dapat diraba
• Sulcus medianus prostate
• Adakah krepitasi
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan prostat teraba membesar, konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, permukaan rata, lobus kanan dan kiri simetris, tidak didapatkan nodul, dan menonjol ke dalam rektum. Semakin berat derajat hiperplasia prostat, batas atas semakin sulit untuk diraba. Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi.
Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pielonefritis akan disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus.
Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi penuh dan teraba massa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang terdapat nyeri tekan supra simfisis.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium berperan dalam menentukan ada tidaknya komplikasi.
1. Darah : - Ureum dan Kreatinin
• Elektrolit
• Blood urea nitrogen
• Prostate Specific Antigen (PSA)
• Gula darah
2. Urin : - Kultur urin + sensitifitas test
• Urinalisis dan pemeriksaan mikroskopik
• Sedimen
Sedimen urin diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urine berguna dalam mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
Faal ginjal diperiksa untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit yang mengenai saluran kemih bagian atas. Sedangkan gula darah dimaksudkan untuk mencari kemungkinan adanya penyakit diabetes mellitus yang dapat menimbulkan kelainan persarafan pada vesica urinaria.
d. Pemeriksaan pencitraan
1. Foto polos abdomen (BNO)
BNO berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, adanya batu/kalkulosa prostat dan kadangkala dapat menunjukkan bayangan vesica urinaria yang penuh terisi urin, yang merupakan tanda dari suatu retensi urine. Selain itu juga bisa menunjukkan adanya hidronefrosis, divertikel kandung kemih atau adanya metastasis ke tulang dari carsinoma prostat.
2. Pielografi Intravena (IVP)
Pemeriksaan IVP dapat menerangkan kemungkinan adanya:
1. kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis
2. memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh adanya indentasi prostat (pendesakan vesica urinaria oleh kelenjar prostat) atau ureter di sebelah distal yang berbentuk seperti mata kail atau hooked fish
3. penyulit yang terjadi pada vesica urinaria yaitu adanya trabekulasi, divertikel, atau sakulasi vesica urinaria
4. foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin
3. Sistogram retrograd
Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin, maka sistogram retrograd dapat pula memberi gambaran indentasi.
4. USG secara transrektal (Transrectal Ultrasonography = TURS)
Untuk mengetahui besar atau volume kelenjar prostat, adanya kemungkinan pembesaran prostat maligna, sebagai petunjuk untuk melakukan biopsi aspirasi prostat, menentukan volume vesica urinaria dan jumlah residual urine, serta mencari kelainan lain yang mungkin ada di dalam vesica urinaria seperti batu, tumor, dan divertikel.

5. Pemeriksaan Sistografi
Dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria atau pada pemeriksaan urine ditemukan mikrohematuria. Sistografi dapat memberikan gambaran kemungkinan tumor di dalam vesica urinaria atau sumber perdarahan dari atas bila darah datang dari muara ureter, atau batu radiolusen di dalam vesica. Selain itu juga memberi keterangan mengenai basar prostat dengan mengukur panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam uretra.

6. MRI atau CT jarang dilakukan
Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan bermacam – macam potongan.



e. Pemeriksaan Lain
1. Uroflowmetri
Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran urin ditentukan oleh : - daya kontraksi otot detrusor
• tekanan intravesica
• resistensi uretra
Angka normal laju pancaran urin ialah 10-12 ml/detik dengan puncak laju pancaran mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah menjadi 6 – 8 ml/detik dengan puncaknya sekitar 11 – 15 ml/detik. Semakin berat derajat obstruksi semakin lemah pancaran urin yang dihasilkan.

2. Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies)
Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri tidak dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi otot detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut dilakukan pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan Abrams-Griffiths Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica dan laju pancaran urin dapat diukur.
3. Pemeriksaan Volume Residu Urin
Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin yang masih tinggal atau ditentukan dengan pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi, dapat pula dilakukan dengan membuat foto post voiding pada waktu membuat IVP. Pada orang normal sisa urin biasanya kosong, sedang pada retensi urin total sisa urin dapat melebihi kapasitas normal vesika. Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi pada penderita prostat hipertrofi.
f. Terapi Konservatif Non Operatif
A. Watchful Waiting
Watchful waiting dilakukan pada penderita dengan keluhan ringan. Tindakan yang dilakukan adalah observasi saja tanpa pengobatan.

B. Terapi Medikamentosa
Pilihan terapi non-bedah adalah pengobatan dengan obat (medikamentosa).
C. Terapi Bedah Konvensional
Open simple prostatectomy
Indikasi untuk melakukan tindakan ini adalah bila ukuran prostat terlalu besar, di atas 100g, atau bila disertai divertikulum atau batu buli-buli.
D. Terapi Invasif Minimal
1. Transurethral resection of the prostate (TUR-P)
Menghilangkan bagian adenomatosa dari prostat yang menimbulkan obstruksi dengan menggunakan resektoskop dan elektrokauter.
2. Transurethral incision of the prostate (TUIP)
Dilakukan terhadap penderita dengan gejala sedang sampai berat dan dengan ukuran prostat kecil.
E. Terapi laser
Tekniknya antara lain Transurethral laser induced prostatectomy (TULIP) yang dilakukan dengan bantuan USG, Visual coagulative necrosis, Visual laser ablation of the prostate (VILAP), dan interstitial laser therapy.
F. Terapi alat
1. Microwave hyperthermia
Memanaskan jaringan adenoma melalui alat yang dimasukkan melalui uretra atau rektum sampai suhu 42-45oC sehingga diharapkan terjadi koagulasi.
2. Trans urethral needle ablation (TUNA)
Alat yang dimasukkan melalui uretra yang apabila posisi sudah diatur, dapat mengeluarkan 2 jarum yang dapat menusuk adenoma dan mengalirkan panas, sehingga terjadi koagulasi sepanjang jarum yang menancap di jaringan prostat.
3. High intensity focused ultrasound (HIFU)
Melalui probe yang ditempatkan di rektum yang memancarkan energi ultrasound dengan intensitas tinggi dan terfokus.
4. Intraurethral stent
Adalah alat yang secara endoskopik ditempatkan di fosa prostatika untuk mempertahankan lumen uretra tetap terbuka.
5. Transurethral baloon dilatation
Dilakukan dengan memasukkan kateter yang dapat mendilatasi fosa prostatika dan leher kandung kemih.
G. KRITERIA PEMBESARAN PROSTAT
Untuk menentukan kriteria prostat yang membesar dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah :

1. Rektal grading
Berdasarkan penonjolan prostat ke dalam rektum :
• derajat 1 : penonjolan 0-1 cm ke dalam rektum
• derajat 2 : penonjolan 1-2 cm ke dalam rektum
• derajat 3 : penonjolan 2-3 cm ke dalam rektum
• derajat 4 : penonjolan > 3 cm ke dalam rektum
2. Berdasarkan jumlah residual urine
• derajat 1 : <
• derajat 2 : 50-100 ml
• derajat 3 : >100 ml
• derajat 4 : retensi urin total
3. Intra vesikal grading
• derajat 1 : prostat menonjol pada bladder inlet
• derajat 2 : prostat menonjol diantara bladder inlet dengan muara ureter
• derajat 3 : prostat menonjol sampai muara ureter
• derajat 4 : prostat menonjol melewati muara ureter

4. Berdasarkan pembesaran kedua lobus lateralis yang terlihat pada uretroskopi :
• derajat 1 : kissing 1 cm
• derajat 2 : kissing 2 cm
• derajat 3 : kissing 3 cm
• derajat 4 : kissing >3 cm6
H. KOMPLIKASI
Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut :
• Inkontinensia Paradoks
• Batu Kandung Kemih
• Hematuria
• Sistitis
• Pielonefritis
• Retensi Urin Akut Atau Kronik
• Refluks Vesiko-Ureter
• Hidroureter
• Hidronefrosis
• Gagal Ginjal
I. PENATALAKSANAAN
Hiperplasi prostat yang telah memberikan keluhan klinik biasanya akan menyebabkan penderita datang kepada dokter. Derajat berat gejala klinik dibagi menjadi empat gradasi berdasarkan penemuan pada colok dubur dan sisa volume urin, yaitu:

- Derajat satu, apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah diraba dan sisa urin kurang dari 50 ml.

- Derajat dua, apabila ditemukan tanda dan gejala sama seperti pada derajat satu, prostat lebih menonjol, batas atas masih dapat teraba dan sisa urin lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml.

- Derajat tiga, seperti derajat dua, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin lebih dari 100 ml

- Derajat empat, apabila sudah terjadi retensi urin total.

Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang disebut WHO PSS (WHO Prostate Symptom Score). Skor ini berdasarkan jawaban penderita atas delapan pertanyaan mengenai miksi. Terapi non bedah dianjurkan bila WHO PSS tetap dibawah 15. Untuk itu dianjurkan melakukan kontrol dengan menentukan WHO PSS. Terapi bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila timbul obstruksi.3,11

Pembagian derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I-IV digunakan untuk menentukan cara penanganan.

• Derajat satu biasanya belum memerlukan tindakan operatif, melainkan dapat diberikan pengobatan secara konservatif.
• Derajat dua sebenarnya sudah ada indikasi untuk melakukan intervensi operatif, dan yang sampai sekarang masih dianggap sebagai cara terpilih ialah trans uretral resection (TUR). Kadang-kadang derajat dua penderita masih belum mau dilakukan operasi, dalam keadaan seperti ini masih bisa dicoba dengan pengobatan konservatif.
• Derajat tiga, TUR masih dapat dikerjakan oleh ahli urologi yang cukup berpengalaman biasanya pada derajat tiga ini besar prostat sudah lebih dari 60 gram. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga reseksi tidak akan selesai dalam satu jam maka sebaiknya dilakukan operasi terbuka.
• Derajat empat tindakan pertama yang harus segera dikerjakan ialah membebaskan penderita dari retensi urin total, dengan jalan memasang kateter atau memasang sistostomi setelah itu baru dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnostik, kemudian terapi definitif dapat dengan TURP atau operasi terbuka.3,11

Terapi sedini mungkin sangat dianjurkan untuk mengurangi gejala, meningkatkan kualitas hidup dan menghindari komplikasi akibat obstruksi yang berkepanjangan. Tindakan bedah masih merupakan terapi utama untuk hiperplasia prostat (lebih dari 90% kasus). Meskipun demikian pada dekade terakhir dikembangkan pula beberapa terapi non-bedah yang mempunyai keunggulan kurang invasif dibandingkan dengan terapi bedah. Mengingat gejala klinik hiperplasia prostat disebabkan oleh 3 faktor yaitu pembesaran kelenjar periuretral, menurunnya elastisitas leher vesika, dan berkurangnya kekuatan detrusor, maka pengobatan gejala klinik ditujukan untuk :

1. Menghilangkan atau mengurangi volume prostat
2. Mengurangi tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3. Melebarkan uretra pars prostatika, menambah kekuatan detrusor.

Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah menghilangkan obstruksi pada leher vesica urinaria. Hal ini dapat dicapai dengan cara medikamentosa, pembedahan, atau tindakan endourologi yang kurang invasif.


Diagnosa keperawatan.
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah sebagai berikut :
Pre Operasi :
1). Obstruksi akut / kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat,dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan kandung kemih unmtuk berkontraksi secara adekuat.
2). Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli, distensi kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.
3). Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan pasca obstruksi diuresis..
4). Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi prosedur bedah
5). Kurang pengetahuan tentang kondisi ,prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi
Post Operasi :
1) Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada TUR-P
2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering.
3) Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan
4) Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan akan impoten akibat dari TUR-P.
5) Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi
6) Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek pembedahan

B. Perencanaan
1. Sebelum Operasi

a. Obstruksi akut / kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat,dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan kandung kemih untuk berkontraksi secara adekuat.
1) Tujuan : tidak terjadi obstruksi
3) Kriteria hasil :
Berkemih dalam jumlah yang cukup, tidak teraba distensi kandung kemih
4) Rencana tindakan dan rasional
1. Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan.
R/ Meminimalkan retensi urina distensi berlebihan pada kandung kemih
2. Observasi aliran urina perhatian ukuran dan kekuatan pancaran urina
R / Untuk mengevaluasi ibstruksi dan pilihan intervensi
3. Awasi dan catat waktu serta jumlah setiap kali berkemih
R/ Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal
4. Berikan cairan sampai 3000 ml sehari dalam toleransi jantung.
R / Peningkatkan aliran cairan meningkatkan perfusi ginjal serta membersihkan ginjal ,kandung kemih dari pertumbuhan bakteri
5. Berikan obat sesuai indikasi ( antispamodik)
R/ mengurangi spasme kandung kemih dan mempercepat penyembuhan

b. Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli, distensi kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.
1). Tujuan
Nyeri hilang / terkontrol.
2). Kriteria hasil
Klien melaporkan nyeri hilang / terkontrol, menunjukkan ketrampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik sesuai indikasi untuk situasi individu. Tampak rileks, tidur / istirahat dengan tepat.
3). Rencana tindakan dan rasional
a) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas ( skala 0 - 10 ).
R / Nyeri tajam, intermitten dengan dorongan berkemih / masase urin sekitar kateter menunjukkan spasme buli-buli, yang cenderung lebih berat pada pendekatan TURP ( biasanya menurun dalam 48 jam ).
b) Pertahankan patensi kateter dan sistem drainase. Pertahankan selang bebas dari lekukan dan bekuan.
R/ Mempertahankan fungsi kateter dan drainase sistem, menurunkan resiko distensi / spasme buli - buli.
c). Pertahankan tirah baring bila diindikasikan
R/ Diperlukan selama fase awal selama fase akut.
d) Berikan tindakan kenyamanan ( sentuhan terapeutik, pengubahan posisi, pijatan punggung ) dan aktivitas terapeutik.
R / Menurunkan tegangan otot, memfokusksn kembali perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
f) Berikan rendam duduk atau lampu penghangat bila diindikasikan.
R/ Meningkatkan perfusi jaringan dan perbaikan edema serta meningkatkan penyembuhan ( pendekatan perineal ).
f) Kolaborasi dalam pemberian antispasmodik
R / Menghilangkan spasme

c. Resiko tinggi kekurangan cairan yang berhubungan dengan pasca obstruksi diuresis.
1). Tujuan
Keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara.
2). Kriteria hasil
Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan dengan: tanda -tanda vital stabil, nadi perifer teraba, pengisian perifer baik, membran mukosa lembab dan keluaran urin tepat.
3). Rencana tindakan dan rasional
a). Awasi keluaran tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-200 ml/.
R/ Diuresisi yang cepat dapat mengurangkan volume total karena ketidakl cukupan jumlah natrium diabsorbsi tubulus ginjal.
b). Pantau masukan dan haluaran cairan.
R/ Indikator keseimangan cairan dan kebutuhan penggantian.
c). Awasi tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernapasan, penurunan tekanan darah, diaforesis, pucat,
R/ Deteksi dini terhadap hipovolemik sistemik
d). Tingkatkan tirah baring dengan kepala lebih tinggi
R/ Menurunkan kerja jantung memudahkan hemeostatis sirkulasi.
g). Kolaborasi dalam memantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi, contoh:
Hb / Ht, jumlah sel darah merah. Pemeriksaan koagulasi, jumlah trombosi
R/ Berguna dalam evaluasi kehilangan darah / kebutuhan penggantian. Serta dapat mengindikasikan terjadinya komplikasi misalnya penurunan faktor pembekuan darah,

d. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi prosedur bedah.
1). Tujuan
Pasien tampak rileks.
2). Kriteria hasil
Menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi, menunjukkan rentang yang yang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut.
3). Rencana tindakan dan rasional
a). Dampingi klien dan bina hubungan saling percaya
R/ Menunjukka perhatian dan keinginan untuk membantu
b). Memberikan informasi tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan.
R / Membantu pasien dalam memahami tujuan dari suatu tindakan.
c). Dorong pasien atau orang terdekat untuk menyatakan masalah atau perasaan.
R/ Memberikan kesempatan pada pasien dan konsep solusi pemecahan masalah

e. Kurang pengetahuan tentang kondisi ,prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi
1). Tujuan : Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan prognosisnya.
2). Kriteria hasil
Melakukan perubahan pola hidup atau prilasku ysng perlu, berpartisipasi dalam program pengobatan.
3). Rencana tindakan dan rasional
a). Dorong pasien menyatakan rasa takut persaan dan perhatian.
R / Membantu pasien dalam mengalami perasaan.
b) Kaji ulang proses penyakit,pengalaman pasien
R/ Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi terapi.

II. Sesudah operasi

1. Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada TUR-P
Tujuan: Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria hasil :
- Klien mengatakan nyeri berkurang / hilang.
- Ekspresi wajah klien tenang.
- Klien akan menunjukkan ketrampilan relaksasi.
- Klien akan tidur / istirahat dengan tepat.
- Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Rencana tindakan :
1. Jelaskan pada klien tentang gejala dini spasmus kandung kemih.
R/ Kien dapat mendeteksi gajala dini spasmus kandung kemih.
2. Pemantauan klien pada interval yang teratur selama 48 jam, untuk mengenal gejala – gejala dini dari spasmus kandung kemih.
R/ Menentukan terdapatnya spasmus sehingga obat – obatan bisa diberikan
3. Jelaskan pada klien bahwa intensitas dan frekuensi akan berkurang dalam 24 sampai 48 jam.
R/ Memberitahu klien bahwa ketidaknyamanan hanya temporer.
4. Beri penyuluhan pada klien agar tidak berkemih ke seputar kateter.
R/ Mengurang kemungkinan spasmus.
5. Anjurkan pada klien untuk tidak duduk dalam waktu yang lama sesudah tindakan TUR-P.
R / Mengurangi tekanan pada luka insisi
6. Ajarkan penggunaan teknik relaksasi, termasuk latihan nafas dalam, visualisasi.
R / Menurunkan tegangan otot, memfokuskan kembali perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
7. Jagalah selang drainase urine tetap aman dipaha untuk mencegah peningkatan tekanan pada kandung kemih. Irigasi kateter jika terlihat bekuan pada selang.
R/ Sumbatan pada selang kateter oleh bekuan darah dapat menyebabkan distensi kandung kemih dengan peningkatan spasme.
8. Observasi tanda – tanda vital
R/ Mengetahui perkembangan lebih lanjut.
9. Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat – obatan (analgesik atau anti spasmodik )
R / Menghilangkan nyeri dan mencegah spasmus kandung kemih.

2. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering.
Tujuan: Klien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi .
Kriteria hasil:
- Klien tidak mengalami infeksi.
- Dapat mencapai waktu penyembuhan.
- Tanda – tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda – tanda shock.
Rencana tindakan:
1. Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter dengan steril.
R/ Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi
2. Anjurkan intake cairan yang cukup ( 2500 – 3000 ) sehingga dapat menurunkan potensial infeksi.
R/ . Meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK dikurangi dan mempertahankan fungsi ginjal.
3. Pertahankan posisi urobag dibawah.
R/ Menghindari refleks balik urine yang dapat memasukkan bakteri ke kandung kemih.
4. Observasi tanda – tanda vital, laporkan tanda – tanda shock dan demam.
R/ Mencegah sebelum terjadi shock.
5. Observasi urine: warna, jumlah, bau.
R/ Mengidentifikasi adanya infeksi.
6. Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotik.
R/ Untuk mencegah infeksi dan membantu proses penyembuhan.
3. Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan .
Tujuan: Tidak terjadi perdarahan.
Kriteria hasil:
- Klien tidak menunjukkan tanda – tanda perdarahan .
- Tanda – tanda vital dalam batas normal .
- Urine lancar lewat kateter .
Rencana tindakan:
1. Jelaskan pada klien tentang sebab terjadi perdarahan setelah pembedahan dan tanda – tanda perdarahan .
R/ Menurunkan kecemasan klien dan mengetahui tanda – tanda perdarahan
2. Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan dalm saluran kateter
R/ Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan peregangan dan perdarahan kandung kemih
3. Sediakan diet makanan tinggi serat dan memberi obat untuk memudahkan defekasi .
R/ Dengan peningkatan tekanan pada fosa prostatik yang akan mengendapkan perdarahan .
4. Mencegah pemakaian termometer rektal, pemeriksaan rektal atau huknah, untuk sekurang – kurangnya satu minggu .
R/ Dapat menimbulkan perdarahan prostat .
5. Pantau traksi kateter: catat waktu traksi di pasang dan kapan traksi dilepas .
R/ Traksi kateter menyebabkan pengembangan balon ke sisi fosa prostatik, menurunkan perdarahan. Umumnya dilepas 3 – 6 jam setelah pembedahan .
6. Observasi: Tanda – tanda vital tiap 4 jam,masukan dan haluaran dan warna urine
R/ Deteksi awal terhadap komplikasi, dengan intervensi yang tepat mencegah kerusakan jaringan yang permanen .

4. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan akan impoten akibat dari TUR-P.
Tujuan: Fungsi seksual dapat dipertahankan
Kriteria hasil:
- Klien tampak rileks dan melaporkan kecemasan menurun .
- Klien menyatakan pemahaman situasi individual .
- Klien menunjukkan keterampilan pemecahan masalah .
- Klien mengerti tentang pengaruh TUR – P pada seksual.
Rencana tindakan :
1 . Beri kesempatan pada klien untuk memperbincangkan tentang pengaruh TUR – P terhadap seksual .
R/ Untuk mengetahui masalah klien .
2 . Jelaskan tentang : kemungkinan kembali ketingkat tinggi seperti semula dan kejadian ejakulasi retrograd (air kemih seperti susu)
R/ Kurang pengetahuan dapat membangkitkan cemas dan berdampak disfungsi seksual
3 . Mencegah hubungan seksual 3-4 minggu setelah operasi .
R/ Bisa terjadi perdarahan dan ketidaknyamanan
4 . Dorong klien untuk menanyakan kedokter salama di rawat di rumah sakit dan kunjungan lanjutan .
R / Untuk mengklarifikasi kekhatiran dan memberikan akses kepada penjelasan yang spesifik.

5. Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi
Tujuan: Klien dapat menguraikan pantangan kegiatan serta kebutuhan berobat lanjutan .

Kriteria hasil:
- Klien akan melakukan perubahan perilaku.
- Klien berpartisipasi dalam program pengobatan.
- Klien akan mengatakan pemahaman pada pantangan kegiatan dan kebutuhan berobat lanjutan .
Rencana tindakan:
1. Beri penjelasan untuk mencegah aktifitas berat selama 3-4 minggu .
R/ Dapat menimbulkan perdarahan .
2. Beri penjelasan untuk mencegah mengedan waktu BAB selama 4-6 minggu; dan memakai pelumas tinja untuk laksatif sesuai kebutuhan.
R/ Mengedan bisa menimbulkan perdarahan, pelunak tinja bisa mengurangi kebutuhan mengedan pada waktu BAB
3. Pemasukan cairan sekurang–kurangnya 2500-3000 ml/hari.
R/ Mengurangi potensial infeksi dan gumpalan darah .
4. Anjurkan untuk berobat lanjutan pada dokter.
R/. Untuk menjamin tidak ada komplikasi .
5. Kosongkan kandung kemih apabila kandung kemih sudah penuh .
R/ Untuk membantu proses penyembuhan .

6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan
Tujuan: Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi.
Kriteria hasil:
- Klien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang cukup.
- Klien mengungkapan sudah bisa tidur .
- Klien mampu menjelaskan faktor penghambat tidur .
Rencana tindakan:
1. Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan kemungkinan cara untuk menghindari.
R/ meningkatkan pengetahuan klien sehingga mau kooperatif dalam tindakan perawatan .
2. Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan mengurangi kebisingan .
R/ Suasana tenang akan mendukung istirahat
3. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur.
R/ Menentukan rencana mengatasi gangguan
4. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat mengurangi nyeri ( analgesik ).
R/ Mengurangi nyeri sehingga klien bisa istirahat dengan cukup .



DAFTAR PUSTAKA

Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Long, B.C., 1996. Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Lab / UPF Ilmu Bedah, 1994. Pedoman Diagnosis Dan Terapi. Surabaya, Fakultas Kedokteran Airlangga / RSUD. dr. Soetomo.
Hardjowidjoto S. (1999).Benigna Prostat Hiperplasia. Airlangga University Press. Surabaya
Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta.
Google gambar
Read More : BPH (Benign Prostat Hiperplasia)

KEPERAWATAN (NURSE)

  © Blogger templates The Transformers by Blog Tips And Trick 2009